Selasa, Mei 05, 2009

KEPEMIMPINAN ABU BAKAR AL-SHIDDIQ

KEPEMIMPINAN ABU BAKAR AL-SHIDDIQ
Oleh : Muhammad Rahmatullah

PENDAHULUAN
Abu Bakar Shiddiq adalah anak Abi Quhafah, khalifah pertama dari rangkaian al-Khulafaa’ al-Raasyidiin, memerintah pada 632 - 634 (11 - 13 H). Dia termasuk orang terkemuka Quraisy pertama yang menerima ajaran Nabi Muhammad.
Khalifah pertama ini dikenal dalam sejarah, dengan banyak nama dan panggilan (gelar). Nama aslinya adalah Abdullah Ibn `Uthman (gelar Abu Quhaafah) ibn Amir ibn Ka`ab ibn Sa`ad ibn Taim ibn Murrah al-Taimy. Pada masa Jahiliyah ia bernama Abdul Ka’bah, lalu ditukar oleh Rasulullah dengan nama Abdullah. Nama panggilannya adalah Abu Bakar, karena sejak awal sekali ia masuk Islam. Gelarnya adalah al-Siddiq, karena ia amat segera membenarkan Rasulullah dalam berbagai peristiwa, terutama peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Nabi Muhammad sejak diutus menjadi Rasul sampai akhir hayatnya menduduki dua jabatan penting, yaitu sebagai Kepala Agama dan Kepala Negara. Setelah beliau wafat, terjadilah perselisihan di kalangan kaum muslimin tentang berbagai masalah besar. Diantara masalah besar tersebut yaitu tentang pengganti Rasul sebagai Kepala Negara.
Akhirnya muncullah nama Abu Bakar sebagai calon yang secara umum diterima di semua kalangan dengan melalui berbagai perdebatan di kalangan kaum muslimin saat itu. Abu Bakar terpilih untuk mempertahankan status quo, memelihara semua peninggalan (ajaran Islam) yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan memanfaatkannya. Terpilihnya Abu Bakar menunjukkan kesadaran politik yang baik dalam ummah dan cepatnya pemilihan menunjukkan bahwa mereka bertekad untuk bersatu dan melanjutkan tugas Nabi Muhammad.
Sebagai Khalifah Abu Bakar memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama (khalifah, bukan Rasul) sekaligus merangkap kepala negara. Pemunculannya sebagai pemimpin merupakan keputusan ad hoc (bersifat sementara karena terdesak oleh keadaan) yang diambil oleh ummah pada saat terjadi krisis kepemimpinan.
Ummah telah menamakan sistim Khilafah ini sebagai "Khilafah yang adil dan benar" atau al-Khilaafah al-Rashiidah. Dan ini adalah kata-kata yang menjelaskan bahwa cara ini adalah satu-satunya cara yang benar bagi penggantian kedudukan Rasulullah menurut pandangan kaum muslimin.

PROSES PEMILIHAN KHALIFAH
Meskipun Nabi Muhammad mengetahui bahwa ajal beliau sudah dekat, namun beliau tidak memberitahukan tentang bagaimana kelanjutan ummah itu setelah wafatnya nanti. Beliau menjelaskan bahwa tidak akan ada Rasulullah lain sebagai penggantinya. Sesuai dengan tradisi Arab beliau membuka pintu bagi munculnya seorang pemimpin baru. Hal ini membuktikan bahwa pandangan beliau yang jauh dan juga ternyata para pengikutnya telah mendapatkan pelajaran tentang bagaimana menerapkan tradisi Arab terhadap situasi baru mereka.
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin ummat.
Berkenaan dengan pengganti beliau sebagai Kepala Negara, terjadilah perselisihan pendapat di kalangan kaum muslimin pada saat itu. Situasi ini membahayakan ummat Islam di Madinah, sehingga masalah pergantian pimpinan dicoba untuk diselesaikan pada hari wafatnya Nabi. Pertemuan mendesak yang dilakukan oleh suku Khazraj merupakan tantangan besar terhadap keutuhan Madinah. Persoalan menjurus sampai pada usaha menemukan calon yang paling bisa diterima oleh semua kelompok.
Masing-masing kelompok mengajukan calon Khalifah dan mengklaim bahwa calon mereka yang paling berhak atas kekhalifahan. Calon-calon tersebut antara lain Abu Bakar, 'Ali bin Abi Thalib dan Sa'ad bin 'Ubadah. Perselisihan lainnya terjadi di Saqiifah, yaitu balai pertemuan Bani Sa'iidah. Perselisihan ini berakhir dengan dibai'atnya Abu Bakar sebagai Khalifah, setelah melalui berbagai perdebatan.
Sebenarnya pencalonan Abu Bakar itu mendapat perlawanan hebat dari kaum Ansar maupun 'Ali bin Abi Thalib serta pengikutnya. Kelompok 'Ali ini adalah benih kelompok Shi'ah. Mereka berpendapat bahwa 'Ali-lah yang lebih berhak menduduki jabatan Khalifah. Alasan mereka bahwa 'Ali adalah kemenakan sekaligus mantu Rasulullah. Selain itu didasarkan riwayat yang dikenal dengan hadith Ghadir Khum, bahwa Rasulullah pernah meriwayatkannya. Mereka mengajukan sejumlah riwayat tentang keutamaan 'Ali. Dikatakan bahwa "Aku merupakan kota ilmu pengetahuan sedangkan 'Ali pintunya". Atau "Aku dan 'Ali ibarat Musa dan Harun".
Ajaran Shi'ah yang terkenal, yang menyatakan bahwa Rasulullah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya ketika berada di Ghadir Khum tidak perlu dipertimbangkan secara serius. Peristiwa semacam itu secara inheren tidak mungkin terjadi mengingat adanya tradisi di kalangan bangsa Arab untuk tidak menyerahkan tanggung jawab besar kepada orang-orang muda dan yang tidak diketahui dengan pasti kemampuannya.
Sedangkan kelompok Ansar telah melakukan pertemuan di Balai Rung Bani Sa'adah. Mereka hendak mengangkat Sa'ad bin Ubadah sebagai Khalifah. Pertemuan tersebut akhirnya diketahui oleh kelompok Muhajirin. Maka pergilah Abu Bakar, Umar dan Abu 'Ubaidah bin Jarrah ke balai pertemuan Bani Sa'iidah. Terjadilah perdebatan yang alot dalam pertemuan tersebut. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraish untuk dipilih sebagai Khalifah, yaitu Umar bin Khattab atau Abu 'Ubaidah bin Jarrah. Calon dari Quraish ini diajukan demia menjaga keutuhan ummah dan menghindari permusuhan lama antara dua suku besar di Madinah, yaitu suku Khazraj dan Aus.
Orang-orang Ansar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar. Umar tidak menyia-nyiakan momentum yang sangat baik itu. Umar mulai bicara tentang profil pemimpin yang mereka harapkan guna menjaga keutuhan ummah. Kemudian Umar memegang tangan Abu Bakar dan membai'atnya serta menyatakan kesetiannya kepadanya sebagai Khalifah. Tindakan Umar ini dikuti oleh Abu 'Ubaidah bin Jarrah. Tetapi sebelum dua tokoh Quraish mengucapkan bai'at, Bashiir bin Sa'ad, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj mendahui mengucapkan bai'at kepada Abu Bakar. Kemudian bai'at tersebut diikuti oleh kelompok Muhaajiriin maupun kelompok Ansar yang hadir di sana, termasuk Asid bin Khudair, seorang tohoh Ansar dari suku Aus.
Ada dua faktor utama yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah. Pertama, menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin) haruslah berasal dari suku Quraish. Kedua sahabat sependapat tentang ketokohan pribadi (profil) Abu Bakar sebagai khalifah karena beberapa keutamaan yang dimilikinya. Keutamaan tersebut antara lain ia adalah laki-laki dewasa pertama yang memeluk agama Islam, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi SAW pada saat hijrah dan ketika bersembunyi di Gua Suur, ia sering ditunjuk Rasulullah untuk mengimami shalat ketika beliau sedang uzur. Ia keturunan bangsawan, cerdas dan berakhlak mulia.
Sebagai Khalifah, Abu bakar mengalami dua kali bai'at. Pertama di Saqifah Bani Sa'iidah, yang dikenal dengan Bai'ah Khaassah. Kedua di Masjid Nabawi di Madinah, yang dikenal dengan Bai'ah 'Aammah.
Pada hakekatnya pe,ilihan Abu Bakar di Balai Pertemuan Bani Sa'iidah tidak banyak diikuti sahabat senior lain, seperti Ali bin Abi Thalib, 'Uthman bin 'Affan, Abd. al-Rahman bin 'Auf, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqash dan Talhah bin 'Ubaidillah. Tetapi ditinggalkannya mereka bukan suatu kesengajaan. Sebaliknya pertemuan tersebut tidak direncanakan sebelumnya dan hanya terdorong oleh keadaan. Keadaan waktu itu amat genting, sehingga memerlukan tindakan cepat dan tegas. Namun para sahabat senior tersebut seorang demi seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela berbai'at kepada Abu Bakar. Zubair memerlukan tekanan dari Umar agar bersedia berbai'at. Adapun Ali bin Abi Thalib, baru berbai'at kepda Abu Bakar, setelah 6 bulan istrinya Fatimah wafat.
Terlepas dari silang pendapat tentang siapa yang berhak menduduki jabatan kekhalifahan, yang jelas sejarah telah membuktikan bahwa Abu Bakar terpilih secara demokratis menjadi Khalifah Pertama dalam sejarah Islam.

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI ABU BAKAR
Masa awal pemerintahan Abu Bakar diwarnai dengan berbagai kekacauan dan pemberontakan, seperti munculnya orang-orang murtad, aktifnya orang-orang yang mengaku diri nabi, pemberontakan dari beberapa kabilah Arab dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat.
Munculnya orang-orang murtad disebabkan keyakinan mereka terhadap ajaran Islam belum begitu mantap, dan wafatnya Nabi Muhammad menggoyahkan keimanan mereka. Masalah nabi palsu sebenarnya telah ada sejak Nabi SAW masih hidup. Tetapi kewibawaan Nabi SAW menggetarkan hati mereka untuk melancarkan aktivitasnya. Masalah pemberontakan kabilah disebabkan oleh anggapan mereka bahwa perjanjian perdamaian dibuat bersama Nabi secara pribadi dan perjanjian tersebut berakhir dengan wafatnya beliau. Mereka menganggap tidak perlu lagi taat dan tunduk kepada penguasa Islam yang baru. Sedangkan orang-orang yang ingkar membayar zakat hanyalah karena kelemahan iman mereka. Mereka tidak mau membayar zakat karena mereka beranggapan bahwa zakat itu hanyalah upeti yang tidak patut diwajibkan atas setiap orang merdeka. Hal ini terjadi karena menurut adat kebiasaan orang Arab, mereka itu tidak mau tunduk kepada siapapun selain orang yang memegang kekuasaan keagamaan.
Dalam kesulitan yang memuncak inilah terlihat kebesaran jiwa dan ketabahan hati Abu Bakar. Dengan tegas dinyatakannya seraya bersumpah, bahwa beliau akan memerangi semua golongan yang telah menyeleweng dari kebenaran, kecuali mereka yang kembali kepada kebenaran, meskipun beliau harus gugur dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah.
Mereka mengira bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang lemah, sehingga mereka berani membuat kekacauan. Terhadap semua golongan yang membangkang dan memberontak itu Abu Bakar mengambil tindakan tegas. Ketegasan ini didukung oleh mayoritas ummat. Untuk menumpas seluruh pemberontakan beliau membentuk sebelas pasukan yang dipimpin oleh panglima perang yang tangguh. Dalam waktu singkat seluruh kekacauan dapat ditumpas dengan sukses.
Sebelum Abu Bakar mengirim masing-masing pasukan ke berbagai tempat yang dituju, beliau lebih dahulu mengirimi surat kepada golongan ataupun orang-orang yang menyeleweng tersebut. Dalam surat itu dijelaskan bahwa ada kesamaran-kesamaran yang timbul dalam pikiran mereka, serta diserukan kepada mereka agar kembali kepada ajaran Islam. Diperingatkan pula, apa akibat yang akan terjadi kalau mereka masih tetap dalam kesesatan itu.
Peperangan ini dikenal dengan nama perang Riddah. Perang Riddah diprioritaskan terhadap orang-orang yang enggan membayar zakat. Kata Riddah atau "Murtad" dalam hal ini tidak mengandung pengertian sebagaimana terdapat dalam hukum Fiqh. Ketika itu orang-orang Arab tidak berbalik kepada kepercayaan Shirik.
Meraka tetap mengakui keesaan Allah SWT, hanya saja mereka tidak mau menunaikan Zakat. Menurut mereka zakat dianggap sebagai pajak dan dirasakan sebagai kewajiban yang merendahkan martabat mereka. Ada juga yang menganggap bahwa pemungutan zakat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saja yang dapat membersihkan dan menghapuskan kesalahan-kesalahan pembayar zakat. Hal ini terjadi karena salah menafsiran salah satu ayat yang berkenaan zakat (Surat Al-Taubah ayat 103).
Persoalan lain yang dihadapi Abu Bakar adalah munculnya nabi-nabi palsu. Diantaranya yang mengaku dirinya sebagai nabi adalah Musailamah al-Kazzab (dari Bani Haniifa) di Yamamah, Al-Aswad Al-Amsi di Yaman dan Thulaihah Ibn Khuwailid dari Bani Asad.
Terhadap golongan nabi palsu Abu Bakar mengerahkan bala tentaranya. Pasukan yang dikirim berhasil dalam misinya. Musailamah mati terbunuh ditangan Wahshi (Pembunuh Hamzah paman Nabi dalam Perang Uhud ketika masih musyrik). Adapun Al-Aswad yang pernah menamakan dirinya Rahman al-Yaman telah mati terbunuh sebelum itu. Dengan kemenangan ini akhirnya Abu Bakar dapat menundukkan seluruh jazirah dan berhasil menumpas pemberontakan kaum murtad.

KEMAJUAN DALAM PEMERINTAHAN ABU BAKAR
Meskipun fase permulaan dari kekhalifahan Abu Bakar penuh dengan kekacauan, beliau tetap berkeras melanjutkan rencana Rasulullah untuk mengirim pasukan ke daerah Shiria dibawah pimpinan Usama bin Zaid. Beliau berpendapat, bahwa itu rencana Rasulullah dan demi memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan Persia dan Bizantium. Langkah politik yang ditempuh Abu Bakar itu adalah sangat strategis dan membawa dampak yang sangat positif dan sukses.
Selanjutnya melakukan ekspansi ke daerah Irak dan suriah. Ekspansi ke Irak dipimpin oleh panglima Khalid bin Walid. Sedangkan ke Suria dipimpin oleh Amru Ibn Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil bin Hasan. Pasukan Khalid dapat menguasai Al-Hirrah pada tahun 634. Akan tetapi tentara Islam yang menuju Suria, kecuali pasukan Amru Ibn Ash mengalami kesulitan karena pihak lawan yaitu tentara Bizantium memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dan perlengkapan perangnya jauh lebih sempurna. Untuk membantu pasukan Islam di Suriah, Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid segera meninggalkan Irak menuju Suria, dan kepadanya diserahi tugas memimpin seluruh pasukan. Khalid mematuhi instruksi Abu Bakar. Dan mereka berhasil memenangkan pertempuran, tapi sayang kemenangan itu tidak sempat disaksikan oleh Abu Bakar karena ketika pertempuran itu sedang berkecamuk beliau jatuh sakit dan tak lama kemudian beliau meninggal dunia.
Selain usaha perluasan wilayah Islam, beliau juga berjasa dalam pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang selama ini berserakan di berbagai tempat. Usaha ini dilakukan atas saran Umar bin Khattab. Pada mulanya beliau agak berat melakukan tugas ini karena belum pernah dilakukan oleh Nabi. Akan tetapi 'Umar banyak mengemukakan alasan. Di antara alasannya adalah bahwa banyak sahabat penghafal Qur’an gugur di medan perang dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya. Pada akhirnya Abu Bakar menyetujuinya. Untuk selanjutnya ia menugaskan Zaid bin Thabit untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.
Abu bakar sebagai seorang sahabat Nabi yang merupaya meneladani beliau berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Untuk itu ia membentuk lembaga Bait al-Maal, semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah sahabat Nabi yang digelari Amin Al-'Ummah (Kepercayaan Ummat).
Pada masa Abu Bakar, kegiatan bait al-maal masih tetap seperti pada masa Nabi Muhammad. Pada tahap awal Abu Bakar menjadi khalifah, dia memberikan 10 dirham kepada setiap orang. Lalu pada tahap kedua, dia memberikan 20 dirham untuk perorangan.
Fungsi Bait al-Maal ini adalah untuk mengelola pemasukan dan pengeluaran negara secara bertanggung jawab guna terpeliharanya kepentingan umum. Bait al-Maal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu, beliau tidak mengizinkan pemasukan atau pengeluarannya berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari'at. Selain mendirikan Baitul Mal ia juga mendirikan lembaga peradilan yang ketuanya diserahkan kepada Umar bin Khattab.

PENUTUP
Ummat dan entitas politik yang ditinggalkan Nabi Muhammad ketika beliau wafat mempunyai dua karakter. Pada esensinya entitas politik tersebut tertumpu pada hakekat yang merupakan komunitas keagamaan yang terbuka bagi setiap orang yang menyatakan keislamannya. Pada aspek luarnya entitas politik tersebut masih tetap merupakan semacam konfederasi klan dan kabilah. Entitas politik Islam seolah-ilah identik dengan Arab. Tetapi pada pihak lain, esensi Islam, Ummat dan entitas politik itu menghendaki dilepaskannya "karakter Arab" -- agar memungkinkan tercakupnya orang-orang dan masyarakat dari suku-suku dan ras-ras lain -- sehingga dapat memenuhi tuntutan missi universal Islam. Ummat pada akhirnya bukanlah "ummat al-'Arab", tetapi "Ummat Muhammad" atau "Ummat Islam".
Masalah pokok setelah Nabi Muhammad wafat adalah masalah kepemimpinan. Nabi Muhammad sebagai Nabi tidak bisa digantikan, tetapi posisinya sebagai pemimpin politik ummat harus dicari penggantinya untuk kelangsungan eksistensi ummat dan entitas politik Muslim.
Nabi Muhammad tidak meninggalkan ketentuan-ketentuan mengenai persoalan suksesi kepemimpinan politik. Masalah suksesi ini segera dapat diselesaikan dengan pengangkatan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah, yang berfungsi sebagai pemimpin puncak ummat dan entitas politik muslim. Kaum muslimin segera menyatakan kesetiaan atau bay'ah kepada Abu Bakar, meskipun diwarnai beberapa ketegangan dalam pemilihannya.
Dengan pengangkatan Abu Bakar, maka lahirlah Khilafah; sebuah institusi politik Islam yang mempunyai sejarah yang kaya dan panjang. Pada tingkat Historis, selama masa al-Khulafa' al-Raasyiduun (Khalifah-khalifah yang Terpuji) diperoleh melalui pemilihan yang dilakukan ummat.
Abu Bakar memerintah dalam waktu yang singkat. Meskipun demikian selama waktu dua tahun beliau berhasil melaksanakan tugas utama yang dihadapinya. Beliau berhasil menegakkah pemerintahan Madinah yang terancam keruntuhan. Beliau tidak hanya berhasil mempersatukan kembali suku-suku yang terpecah-pecah, tetapi juga berhasil mengislamkan suku-suku yang sebelumnya memusuhi Islam. Melalui oerang Riddah hasrat untuk bersatu telah tertanam di seluruh wilayah Arab. Walaupun persartuan ini ditandai dengan kenyataan bahwa suku-suku yang pernah murtad tidak dapat menjadi anggota aktif dalam ummah, pintu telah terbuka lebar untuk penyatuan Arab secara baik.
Secara teoritis, kekhalifahan tetap dipandang seperti itu dalam sejarahnya. Tetapi pada tingkat aktual dan praktis sepeninggal keempat khalifah utama tersebut, jabatan khalifah akhirnya tunduk pada prinsip dinastik. Kenyataan ini terlihat jelas dari khalifah-khalifah berikutnya. Mereka menggunakan istilah "Khalifah Bani (Dinasti) Umayyah atau Abbasiyah, dan seterusnya.


BIBLIOGRAPHY

Athir, Ibn. Al-Kaamil Fii Al-Taarikh. Beirut : Daar Shaadir. 1965.
Amin, Ahmad. Yaum Al-Islaam. Ter. Abu Laila & Moh. Tohir. Bandung : CV Rosda. Tt.
Al-Mauduudiy, Abu 'A'la. Khilafah dan Kerajaan. Ter. Muhammad al-Baaqir. Bandung : Mizan. 1996.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Von Hoeve. 1994.
Hasan, Hasan Ibrahim. Taariikh al-Islaam al-Siyaasy. Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyah. 1979.
Hasem, O. Saqifah : Awal Perselisihan Umat. Bandar Lampung : YAPI. 1989.
Kennedy, Hugh. The Prophet and The Age of The Caliphates. London : Longman, 1986.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta : UI Press. 1990.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Pustaka Al-Husna. 1983.
Shaban, M.A..Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600 - 750. Ter. Machnun Husein. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1993.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan. 1992.

PENELITIAN HADITS “LAA TAS`AL AL-IMAARAH”

PENELITIAN HADITS “LAA TAS`AL AL-IMAARAH”
( لا تســـأل الإمــــارة … رواه المــــسلم )
Oleh : Muhammad Rahmatullah

A. PENDAHULUAN
Hadits Nabi Saw. adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Ditinjau dari segi periwayatannya, hadits Nabi Saw berbeda dengan Al-Qur’an. Untuk mengetahui apakah hadits tersebut berasal dari Nabi Saw. atau tidak, maka perlu adanya suatu penelitan terhadap hadits tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui keotentikannya atau keorisinilannya serta sejauh mana periwayatannya dapat dipertanggung-jawabkan, baik dari segi sanad (periwayatannya) maupun matannya (materinya).
Hal ini diperlukan, mengingat pada dasarnya hadits-hadits yang ditulis dalam beraneka macam Kitab Hadits, yang beraneka macam metode atau sitematika penulisannya itu berupaya mengungkapkan bahasa lisan, perbuatan dan taqrir Nabi Saw. -- yang pada saat itu belum dibukukuan -- menjadi bahasa tulisan. Pada masa itu Nabi Saw. mengucapkan, melakukan dan menetapkan segala sesuatu yang bersifat informal (uswatun hasanah) yang disaksikan oleh para sahabat yang tidak menutup kemungkinan adanya salah menafsirkan atau interpretasi terhadap hadits Nabi tersebut atau hadits tersebut diungkapkan dengan bahasa yang tidak sama dengan bahasa Nabi Saw. dan tidak seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi Saw. serta adanya hadits-hadits palsu bahkan adanya periwayatan hadits secara makna. Inilah yang melatarbelakangi perlunya penelitian hadits.
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur’an, maka perlu adanya penelitian terhadap Hadits Nabi Saw. yang akan kita jadikan hujjah; apakah hadis tersebut dapat kita jadikan sebagai hujjah atau tidak.
Dalam rangka praktek penelitian hadits, penulis merasa tertarik untuk meneliti satu hadits tentang “Larangan Meminta Jabatan” (لا تســـأل الإمــــارة ). Karena kurangnya pengalaman penulis dan keterbatasan waktu, maka penelitian ini hanya meliputi penelitian sanadnya saja, yang dilakukan terhadap satu mata rantai dari Imam Muslim.
Setelah diadakan takhrij, ternyata hadits yang dimaksud terdapat dalam berbagai kitab Hadits. Ditemukan bahwa hadits-hadits tersebut terdapat dalam :
1. Shahih Muslim, Juz III dalam Kitab Al-Imaarah
2. Shahih Al-Bukhari, Juz VII dalam Kitab Al-Ahkaam
3. Sunan Abu Dawud, Juz II dalam Kitab Al-Kharaj Al-Fai wa Al-Imaarah
4. Sunan Al-Tirmizi, Juz IV
5. Sunan Al-Nasaa’iy, Juz VIII dalam Kitab Adab Al-Qudat
6. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz V


B. TEKS HADITS
حدثـنا شيــبان بن فـروخ حدثـنا جـرير بن حازم حدثـنا الحســن حدثـنا عبد الرحمن ابن سمـرة قال : قال لى رسول الله : " يا عبد الرحمن ! لا تســـــأل الإمــــــارة فإنك إن أعطيـتــها عـن مسألــة أكلت إليـــها و إن أعطيـتـــها عن غير مسألــة أعــنت عليــــها "
( ج.1 ص.1457 كتاب الإمــارة. باب }3{ حـــديث 31)


C. BAGAN SANAD HADITS
Riwayat Hadits di atas diawali dengan Haddatsana, yang menyatakan kata itu adalah Imam Muslim, penyusun kitab Shahih Muslim. Karena Imam Muslim sebagai Mukharrijul Hadits, maka dia dalam hal ini berkedudukan sebagai periwayat terakhir untuk hadits yang dikutip di atas.
Lambang-lambang periwayatan yang terdapat dalam hadits di atas adalah : Haddatsanaa. Itu berarti metode periwayatan yang digunakan oleh para periwayat dalam sanad hadits tersebut adalah Al-Asma’ , yakni penerimaan hadits dengan cara mendengar langsung lafazh hadits dari gurunya.
Penelitian hadits dalam makalah ini hanya pada satu mata rantai sanad saja, dimulai dari periwayat terakhir, yaitu Imam Muslim hingga Abd. Rahman bin Samurah. Dalam mengemukakan riwayat, Imam Muslim menyandarkan riwayatnya kepada Syaiban bin Farukh, maka dengan demikian Syaiban bin Farukh adalah sanad pertama, sedangkan sanad terakhir adalah Abd. Rahman bin Samurah, yakni periwayat pertama dalam hadits tersebut.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan dibawah ini :

BAGAN SANAD HADITS


رسول الله
قـال
عبد الرحمن بن سمـرة
حدثــنا
الـحــــــــسن
حدثــنا
جـــرير بن حازم
حدثــنا
شيـــبان بن فــروخ
حدثــنا
المـــــــسلم
مخــــــــــــــــرج


= Terjadi hubungan guru-murid, sedikitnya hubungan sezaman

= Periwayat pertama hingga periwayat terakhir (mukharrij)



D. KUALITAS PERIWAYATAN DAN PERSAMBUNGAN SANAD
1. IMAM MUSLIM
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi Al-Naisaburi. Lahir 206 (821) dan wafat di Naisabur 261 (874).
Gurunya antara lain : Yahya bin Yahya Al-Naisaburi, Syaiban bin Farukh, Muhammad bin Mahran, Ahmad bin Hambal, Ishaq Ibnu Rahawaih, dan beberapa orang lainnya. Muridnya antara lain : Imam Al-Turmudzi, Ibn Khuzaimah, Abdurrahman ibn Abi Hatim, Ahmad bin Salamah, dan lain-lain.
Para ulama sepakat atas keimamannya dalam Hadits dan kedalaman pengetahuannya tentang periwayatan hadits. Imam Muslim dinilai Tsiqah oleh para ulama seperti Ibn Abi Hatim. Oleh karena ia sangat terkenal dan merupakan periwayat hadits yang dhabit dan tsiqah, maka penelitian lebih mendetil terhadapnya tidak diperlukan.

2. SYAIBAN BIN FARUKH
Nama lengkapnya adalah Syaiban bin Abi Syaibah Al- Habatiy. Lahir 140 (757) dan wafat 235 (849)
Gurunya antara lain : Jarir bin Hazim, Mahdi bin Maimun, Abd. Waarits bin Sa’id, dll. Sedangkan muridnya antara lain : Zakariya bin Yahya, Al-Hasan bin Sufyan, Abdullah bin Ahmad, Usman Al-Darimiy, dll.
Penilaian Para Kritikus Hadits terhadapnya :
Ahmad bin Sa’id menyatakan bahwa ia Thiqah, Abu Syaikh dari ‘Abdan Al-Ahwazi menilainya Atsbat, Abu Zutr’ah menilainya shuduq, Abu al-Syaikh menyatakan Atsbat al-Nas. Dari penilaian dan komentar ulama di atas tidak ada yang mencelanya, dengan demikian ia adil dhabit.
Dilihat dari selisih tahun, ketika Syaiban bin Farukh meninggal Imam Muslim berumur lebih kurang 29 tahun, sehingga dimungkinkan keduanya bertemu.

3. JARIIR BIN HAAZIM
Nama lengkapnya adalah Jariir bin Haazim bin Abdullah bin Syuja’ Al-Azdiy, ada yang mengatakan Al-‘Itkiy atau Al-Jahdhawi. Wafat 175 (791)
Gurunya antara lain : Abu Thufail, Abu Raja’ Al-‘Itharadiy, Al-Hasan., Ayub, Yunus bin Yazid, dan lainnya. Muridnya antara lain : Al-Thauri, Yahya bin Said Al-Qattan, Muslim bin Ibrahim, Syaiban bin Farukh dan lainnya.
Penilaian Para Kritikus Hadits terhadap tokoh ini agak bervariasi yaitu, Al-Nasai dan Abdullah ibn Ahmad menyatakan Laisa bihi Ba’sun. Sedangkan ‘Utsman al-Darimy, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban mengatakan Thiqah. Abu Hatim menilainya Shuduq. Serta Abu Hilal menilainya Shuduq Shalih . Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa ia Adl Dhabit.
Dinyatakan dalam Tahdzib al-Tahdzib bahwa Syaiban bin Farukh adalah murid Jarir bin Hazim. Dengan demikian persambungan sanad antara keduanya sudah jelas.

4. AL-HASAN
Nama lengkapnya adalah Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Yasar Al-Bashriy Abu Said (kemudian disebut Al-Hasan Al-Bashri). Lahir 21 (641) dan wafat 110 (728)
Gurunya antara lain : Abu Hurairah, Amru bin Ash, Ibn Umar, Ibnu Abbas, Muawiyah, Usman bin ‘Al-‘Asha, Ali bin Abi Thalib. Muridnya antara lain : Hamid Al-Thuwail,Yazid bin Abi Maryam, Ayub, Sa’id Al-Jaririy, Qatadah, Jarir bin Hazim.
Penilaian Para Kritikus Hadits dapat dilihat sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn al- Madani, bahwa ia adalah Tsiqah, Sahhah, apa yang diriwayatkannya tepat, tidak ada yang tercecer. Abu Zur’ah mengatakan Tsabit. Muhammad ibn Saad mengungkapkan Jami’an, ‘Aliman, Rafi’an, Faqihan dan Tsiqah. Sedangkan Ghalib Al-Qattan mengatakan Hasan A’lam Al-‘Alim.
Kata Al-Dzahabi, bila Hasan meriwayatkan Hadits dengan memakai Haddatsana, maka ulama sepakat menilai Al-Hasan sebagai Tsiqat. Hubungan periwayatan dengan Jarir bin Hazim benar bersambung, karena Jarir adalah salah seorang muridnya.
5. ABD. AL-RAHMAN BIN SAMURAH
Nama lengkapnya adalah Abd. Al-Rahman bin Samurah bin Habib bin ‘Abd Syam al-‘Absyamiy. Sedangkan nama aslinya Abd. Al-Ka’bah, kemudian Rasulullah memberinya nama Abd. Rachman. Dia masuk Islam pada peristiwa Fathu Makkah (8 H). Pada tahun 42 H. dia bergabung dalam pasukan untuk menyerang Sijistan dan bersamanya pula saat itu Al-Hasan Al-Basri.
Dia meriwayatkan hadits antara lain langsung dari Nabi Muhammad Saw., Mu’adz bin Jabal. Muridnya dalam periwayatan hadits antara lain Hibban ibn ‘Umair, Abdurrahman ibn Laila dan Al-Hasan Al-Bashri dan lain-lain.
Dari data tersebut di atas, dapat diketahui bersambungnya sanad Al-Hasan dengan Abd. Rahman bin Samurah (dinyatakan sebagai muridnya dan bertemu dalam penaklukan Sijistin). Dan Abd. Rahman sendiri dinyatakan pernah menerima hadits langsung dari Nabi Saw.


E. PENUTUP
Bila kita perhatikan seluruh sanad tresebut di atas, mulai dari Syaiban bin Farukh sampai Abd. Rachman bin Samurah, maka dapat dipastikan bahwa sanadnya bersambung kepada Nabi Saw. Dapat dipastikan bahwa seluruh periwayat dalam sanad antara satu dengan lainnya, benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits, hal itu dikarenakan semua perwawi menggunakan kata Haddatsana, ini berarti periwayatannya dilakukan secara Al-Asma’, yaitu dari periwayat terakhir (Imam Muslim) mendengar langsung dari gurunya, demikian seterusnya hingga sampai pada Abd. Rahman bin Samurah yang mendengar langsung dari Rasulullah Saw.
Dari segi kualitas Rijal al-Hadits, penilaian para kritukus hadits terhadap periwayatannya bersifat Dhabit dan Tsiqah (Adil dan Dhabit).
Dengan dasar-dasar tersebut di atas sangat kecil kemungkinan bahwa hadits ini mengandung Syudzudz (kejanggalan) ataupun ‘Illat (cacat). Karena jika sanadnya bersambung dan para perawinya Thiqah (Dhabit) telah dicapai, niscaya unsur terhidar dari Syudzudz dan Illat telah terpenuhi juga. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa sanad hadits tersebut berkualitas Shahih Lii Zaatih.






DAFTAR PUSTAKA


Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Al-Ishabah fii Tamyiiz Al-Shahaabah. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
_______ Tahdziib Al-Tahdzib. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-‘Azami, Muhammad Mustafa. Studies in Hadiith Methodology and Literature. Kuala Lumpur : Islamic Book Trust. 1977.
Al-Bindaarii, Abd. Al-Ghaffaar Sulaiman dkk. Mausuu’ah Rijal Al-Kutub Al-Tis’ah. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah. 1993.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il. Shahih Al-Bukhariy. Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Ibn Al-Asir, ‘Izz Al-Diin Abu Al-Hasan ‘Aliy. Usud Al-Ghaabah fii Ma’rifat Al-Shahabah. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah. 1994.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits. Jakarta : Bulan Bintang. 1992.
_______ Kaedah Kesahihan Sanad Hadits Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta : Bulan Bintang. 1995
Ibn Hanbal, Abu Abdullah Ahmad. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut : Al-Maktab Al-Islaamiy. 1978.
Al-Nasa’iy, Abu ‘Abd. Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib. Sunan Nasa’iy. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-Qusyairiy, Abu Husain Muslim bin al- Hajjaj. Al-Jami’ al-ShahIh.
Al-Raazii, Abu Muhammad bin Abd. Al-Rahmaan bin Abiy Hatim. Kitab Al-Jarh wa Al-Ta’diil. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah. 1994.
Al-Shalih, Subhi. ‘Ulum Al-Hadiits wa Mushthalahuh. Beirut : Daar Al-‘Ilm Al-Malayin. 1977.
Al-Sijistaniy, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’as. Sunan Abiy Dawud. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa. Sunan Al-Turmuziy. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-Tahhan, Mahmud. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad. Terj. Ridlwan Nasir. Surabaya : Bina Ilmu. 1995.
Wensinck, A.J. Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadz Al-Hadiits Al-Nabwiy. Leiden : E.J. Brill. 1936
Al-Zahabiy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad. Miizaan Al-‘I’tidaal fii Naqd Al-Rijaal. Beirut : Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.

ISLAM SASAK : WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA

ISLAM SASAK : WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA
(TELAAH METODOLOGI KARYA ERNI BUDIWANTI)
Oleh :
Muhammad Rahmatullah
A. Pendahuluan
Sasak adalah nama suku asli Pulau Lombok, terletak antar Pulau Bali dan Sumbawa, yang kini berada di daerah Bayan, sekitar Gunung Rinjani. Komunitas Suku Sasak terbagi dalam dua komunitas, yaitu penganut Islam Wetu Telu dan penganut Islam Waktu Lima.
Wetu Telu adalah orang Sasak yang meskipun mengaku sebagai Muslim, masih sangat percaya terhadap ketuhanan animistic leluhur maupun benda-benda antropomorfis. Dalam hal ini mereka adalah panties. Sebaliknya, Waktu Lima, adalah orang Muslim Sasak yang mengikuti ajaran syari’ah secara lebih keras sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis. Mengikuti dikotomi Geertz, agama Wetu Telu lebih mirip dengan Islam Abangan yang sinkretik, walaupun Waktu Lima tidaklah seperti bentuk Islam Santri.
Kendati Islam sudah lama masuk ke Pulau Lombok, namun pengikut Wetu Telu melebihi bilangan penganut Waktu Lima hingga lima dekade awal abad ini. Sekarang sebagai kelompok minoritas, sistem kepercayaan Wetu Telu terus ditekan untuk menyesuaikan diri dengan praktek-praktek mayoritas.
Alasan utama Erni Budiwanti melakukan penelitian di Bayan Barat Laut Lombok, yang merupakan salah satu komunitas kampung Sasak adalah karena orang Sasak Asli (indigenous) yang tinggal di Bayan telah menjadi sasaran kegiatan-kegiatan dakwah dari kalangan muslim Waktu Lima. Dan kegiatan-kegiatan dakwah Waktu Lima ke daerah-daerah Wetu Telu yang mendorong peneliti untuk meneliti dan menelusuri bagaimana kegiatan-kegiatan demikian berkembang sepanjang waktu, dan mempengaruhi organisasi-organisasi dan struktur sosial lokal.

B. Fokus Penelitian
Studi tentang masyarakat Sasak Bayan di Lombok ini terfokus pada konflik ideologis antara dua kultural relijius: Wetu Telu dan Waktu Lima. Mempelajari budaya keagamaan orang Sasak wetu Telu di Lombok Barat Laut dan proses transformasinya merupakan suatu topik yang penting. Studi ini tidak hanya berupaya menguraikan bagaimana orang Bayan mempertahankan identitas dan praktek-praktek sosial budaya yang berbeda, tetapi juga memberikan pengetahuan bagaimana orang Bayan berusaha menahan dan menghadapi upaya yang intensif dari penyiaran kegiatan-kegiatan dakwah Islam Waktu Lima untuk memurnikan iman dan praktek keagamaan mereka.
Penelusuran terhadap berbagai kelompok dakwah Islam yang bekerja di kalangan orang Bayan Wetu Telu juga sangat penting. Dinamika sosial berbeda dengan antagonisme sosial yang ada diantara da’i-da’I Waktu Lima dan orang Wetu Telu. Beberapa isu utama yang didiskusikan yang berkaitan dengan antagonisme keagamaan ini, yaitu :
1. Bagaimana masyarakat Wetu Telu dan pemimpin mereka menghadapi penetrasi kegiatan dakwah ?
2. Bagaimana para da’i menghadapi dan mempertahankan misi dakwah mereka kendati mendapat tantangan dan reaksi yang keras dari orang Wetu Telu ?

C. Tujuan Penelitian
Pertama, untuk menggambarkan watak Islam parokial di Lombok dan bagaimana pembagian-pembagian sosial keagamaan di kalangan orang Sasak terjadi dan sepanjang waktu. Dan menguraikan simbol-simbol serta sifat-sifat utama yang memisahkan dua kelompok Sasak tersebut (Wetu Telu dan Waktu Lima).
Kedua, untuk memberikan suatu catatan tentang perkembangan misi dakwah yang dilakukan di Bayan, dan pengaruhnya terhadap struktur komunitas tersebut.
Ketiga, untuk mengidentifikasi peran Negara berkaitan dengan pelestarian budaya Wetu Telu di satu sisi, dan promosi kegiatan-kegiatan dakwah Waktu Lima ke daerah Wetu Telu di sisi lain.
Keempat, untuk menganalisis karakteristik konflik sosial yang melibatkan pata pemimpin (tradisional) asli dan para da’i. Hal ini dilakukan agar dapat menjelaskan tentang problem sosial budaya maupun politik saat itu yang dihadapi oleh orang Bayan asli.

D. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini Erni Budiwanti menggunakan pendekatan antropologis dengan model penelitian etnografi. Etnografi merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak terkait dengan antropologi, yang mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek studi.
Lebih jauh lagi, etnografi telah dikembangkan menjadi salah satu model penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat fenomenologi. Studi etnograpi merupakan salah satu deskripsi tentang cara mereka berfikir, hidup, berperilaku.

2. Pemilihan Lokasi
Bayan merupakan sebuah masyarakat desa yang terletak di daerah pegunungan di Barat Laut Lombok. Bayan adalah salah satu desa yang secara administratif berada di bawah pemerintahan Kecamatan Bayan dan Kabupaten Lombok Barat.
Bayan adalah desa yang heterogen. Desa itu terdiri dari lingkungan tempat tinggal yang dihuni orang Bayan asli Wetu Telu, pendatang Waktu Lima dan Hindu Bali. Penduduk asli dibagi berdasarkan status antara para bangsawan dan orang biasa, dan berdasarkan sistem silsilah keturunan. Masing-masing kelompok baik para bansawan maupun orang biasa bersatu di bawah silsilah keturunannya, dan terikat dengan para leluhurnya. Pemukiman mereka ditandai dengan tempat pemakaman eksklusif leluhur. Para pendatang Waktu Lima cenderung mengelompokkan diri berdasarkan desa atas mereka. Mereka dapat dibedakan berdasarkan Tuan Guru mereka yang mereka ikuti.
Masyarakat Wetu Telu Bayan memiliki kepercayaan dan praktek yang berbeda dari kelompok Waktu Lima seperti tiga sistem reproduksi mereka. Wetu Telu percaya pada Tuhan yang menciptakan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama tetapi tidak seperti kelompok Waktu Lima mereka tidak mengabaikan kosmologi mereka sendiri. Dalam prakteknya agama masyarakat Wetu Telu Bayan sarat diwarnai kepercayaan tentang roh. Juga di satu sisi mereka menerima kemahakuasaan Tuhan, namun di sisi lain orang-orang Bayan memuja arwah para leluhur mulai dari Adam dan Hawa hingga mereka yang baru-baru ini meninggal. Sekalipun arwah para leluhur tunduk pada mereka, mereka tetap memegang peran sebagai penghubung yang mampu menjadi perantara antara orang Bayan dengan Tuhan.
Masyarakat Bayan juga percaya akan adanya roh penunggu yang mendiami benda-benda mati sepereti rumah, wilayah perbatasan desa, tanah, bebatuan, sungai dan gunung. Masyarakat Wetu Telu percaya bahwa seluruh makhluk hidup, khususnya manusia, eksistensinya berada dalam sebuah urut-urutan siklus kehidupan tiga tingkat. Yaitu 1) dilahirkan, 2) hidup dan beranak pinak, serta 3) mati. Dengan begitu setiap tahap siklus kehidupan seseorang harus ditandai dengan suatu ritual tranformasi yang mengarah pada status yang lebih tinggi. Perubahan itu tidak hanya bersifat biologis atau fisik belaka, melainkan juga menandai kedudukan sosial. Melalui kematian seseorang menjadi satu dengan arwah lelluhur yang dihormati. Ritus kematian dan pasca kematian menjamin hal itu.
Kebanyakan ritus-ritus Wetu Telu saat ini mendasarkan diri pada penanggalan Qamariyah Islam. Tiga kelompok arwah : leluhur, epen bale, dan epen gubug senantiasa diundang dalam ritual-ritual berdasarkan sistem penanggalan Islam.
Orang-orang Waktu Lima menganggap ritus-ritus Wetu Telu sebagai tidak Islami, sungguhpun mereka menghormati hari-hari besar Islam. Ada tiga perbedaan utama dalam merayakan peristiwa-peristiwa penting Islam antara orang-orang Wetu Telu dan Waktu Lima. Dalam peringatan Maulud, di kelompok Wetu Telu pemujaan terhadap Adam dan Hawa menjadi fokus perayaan, sedangkan dalam kelompok Waktu Lima yang menjadi titik utamanya adalah kelahiran Nabi Muhammad. Saat menghormati Adam dan Hawa sekalipun orang Waktu Lima melakukan hal itu untuk menghormati asal usul umat manusia dan bukan sebagai semacam nenek moyang jauh. Jika orang Waktu Lima mengenang mereka karena kisah-kisah dalam Al-Qur’an, orang-orang Wetu Telu malah berusaha mengambil hati kedua orang itu sebagai arwah yang memiliki kekuatan supranatural yang mampu mengantarkan berkah Tuhan kepada anak keturunannya.

3. Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan melalui 2 (dua) tahapan : pertama dari awal Oktober 1992 hingga awal Januari 1993, sedangkan tahap kedua dari awal Januari 1994 hingga akhir Januari 1995.
Peneliti dalam melakukan penelitian lapangan di Bayan, telah menempuh stuktur birokrasi yang kompleks, mulai dari tingkat pusat hingga desa. Yaitu Surat Ijin Penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) harus mendapat pengesahan dari Direktorat Jederal Sosial Politik. Selanjutnya diajukan permohonan untuk melakukan penelitian ke pejabat birokrasi pemerintahan yang lebih rendah, yaitu : propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Proses perijinan ini membutuhkan waktu kurang lebih sebulan.
Peneliti melakukan penelitian ini dengan bertempat tinggal atau berada di tengah-tengah masyarakat Bayan. Dengan demikian peneliti mempunyai banyak kesempatan untuk melihat lebih dekat dan nyata segala sesuatu dari “dalam” dan mengumpulkan informasi dari perspektif dan narasi lokal. Tentu saja hal ini mendatangkan banyak tantangan dalam menjalaninya.
Ketika berada di Bayan, peneliti berusaha beradaptasi dengan lingkungan sosial-ekonomi, sosial-budaya, karena peneliti memiliki latar belakang yang berbeda dengan masyarakat Bayan. Secara perlahan peneliti mencoba untuk menyerap pengetahuan kebudayaan orang Bayan, baik dengan maupun tanpa mereka.
Peneliti mengakui bahwa bahasa menjadi kendala utama dalam mengumpulkan data dan pada akhirnya peneliti memiliki sifat ketergantungan pada penerjemah ketika melakukan wawancara.
Hubungan antara peneliti dan penduduk desa berkembang sejajar dengan frekuensi waktu yang ia habiskan dengan mereka. Dan peneliti tinggal pada sebuah keluarga yang telah menganggapnya sebagai “anak angkat”. Karena status peneliti saat itu masih gadis (belum berkeluarga), maka banyak keterbatasan yang dialami peneliti, yang memungkinkan hilangnya beberapa peristiwa penting. Selain itu ada batasan tertentu bagi seorang wanita untuk tidak boleh masuk masjid tua dan makam leluhur. Ini menghambat peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang ritual yang berhubungan dengannya.
Peneliti mengakui bahwa ada satu bentuk lemahan teknik pengalaman terlibat di lapangan, yaitu bahwa perspektif lokal yang didapatkan di dalam penelitian ini dihasilkan dari kerjasama dengan sejumlah informan dan tipenya terbatas. Diakui oleh peneliti bahwa temuan-temuan penelitian sangat banyak dipengaruhi dan dibimbing oleh pandangan-pandangan dan pendapat-pendapat pribadi dari beberapa informan tertentu.

E. Hasil Penelitian
Studi tentang masyarakat Sasak Bayan di Lombok ini terfokus pada konflik ideologis antara dua cultural relijius: Wetu Telu dan Waktu Lima. Penilaian sosio relijius orang-orang sasak menjadi Wetu Telu dan Waktu Lima tidak sepenuhnya mempresentasikan atau mengkomfirmasikan dikotomi santri abangan Geertz, walaupun ciri khas relijius Wetu Telu, hingga batas-batas tertentu, bisa dikatakan mempunyai kemiripan dengan ciri kaum abangan. Golongan Waktu Lima pun memiliki beberapa kesamaan dengan kaum santri. Pembedaan antara Wetu Telu dan Waktu Lima harus dilihat dengan pertolongan sebuah model dinamik yang menandai variabel-variabel perubahan dan intensitas konflik ideologis bukan dengan cara yang dikotomis dan statis. Hal inilah yang ingin diterapkan oleh Erni Budiwanti melalui telaah etnografis.
Beralihnya orang Sasak dari Boda menjadi Islam, kemudian dari muslim sinkretis dan nominal (Wetu Telu) menjadi orang Islam sempurna (Waktu Lima), memperlihatkan dinamisme kultural dalam cara Islam disebarkan, kemudian diserap, diakomodasi dan diekspresikan di Indonesia. Dinamisme cultural juga melatari fakta bahwa aktivitas penyebaran dan penanaman ajaran Islam merupakan proses panjang dan berkesinambungan dalam antagonisme dan asimilasi tiada kesudahan.
Islam masuk pada abad XVI oleh penakluk dari Jawa dan kemudian penakluk dari Makassar pada abad XIX uintuk menggantikan Boda, agama asli Sasak. Perubahan itu menandai masuknya orang-orang Sasak sabagai Islam Wetu Telu dan, untuk sebagaian besar membiarkan berlanjutnya praktek-praktek Hindu, animisme dan antropomorfisme di samping Islam. Peralihan menjadi Islam berlanjut dengan dibumbui kepercayaan kepada berbagai macam roh dan ritual untuk menghormati dan mengagungkan nenek moyang dan arwah openunggu seperti arwah penunggu desa, penunggu tanah, air dan gunung. Watak sinkretis Wetu Telu juga dicirikan dengan kelonggarakan dalam menjalankan perintah agama Islam seperti yang jelas terlihat dalam tidak dilakukannya ibadah wajib seperti sholat, puasa, menunaikan haji serta mengabaikan ajaran Islam yang mengharamkan alkohol. Doa-doa dalam bahasa Arab jarang ada yang paham, beribadah di Masjid jarang-jarang dilakukan, pengetahuan tentang teologi dan hukum Islam sangat terbatas hingga saat ini.
Sebagian sinkretis Wetu Telu sedikit demi sedikit digeser oleh ortodoksisme Islam. Yang menjadikan dasar perubahan adalah ide tentang pergi haji ke Mekkah. Mereka yang menempuh perjalanan relijius itu mempelajari praktek-praktek Islam yan “lebih murni” di Arab. Setelah menyelesaikan ibadah haji, sebagian dari mereka tidak langsung pulang ke Lombok, mereka mempelajari agama Islam dan menggabungkan diri dengan ulama besar Islam. Setelah tiba kembali di kampung halaman, mereka mulai mengajar rekan-rekan sedesa mereka dan secara bertahap menyusun langkah untuk menjaring pengikut secara besar-besaran. Status tinggi yang mereka dapatkan selaku pemimpin agama yang terhormat dengan gelar Tuan Guru berjalan seiring dengan berkembangnya jumlah siswa mereka yang selanjutnya juga menjadi pengikut-pengikut setia mereka. Selama berlangsungnya aktivitas mengajar Tuan Guru menyediakan pondok pesantren. Pertumbuhan ortodoksi Islam makin terlihat jelas dengan munculnya pusat-pusat pendidikan ini yang dipimpin Tuan Guru.
Tujuan Tuan Guru mendirikan pondok pesantren dan madrasah baru adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang doktrin sejati Islam dan menggusur agama Wetu Telu. Islam Wetu Telu dipandang masih belum sempurna. Agama ini terlalu banyak campuran lokalnya. Melalui pondok pesantren dan madrasah, keliompok Waktu Lima berusaha mengajak kaum Wetu Telu untuk meninggalkan kepercayaan kuno mereka demi mencapai bentuk Islam yang sempurna.
Ortodoksi Islam di Lombok juga meliputi evaluasi atas berbagai kelemahan adat konservatif dan statis. Para pendukung ortodoksi Islam (Waktu Lima) menantang adat komunitas Wetu Telu. Melalui monoteisme Islam, mereka ingin membersihkan Islam dari adat setempat. Melalui egalitarianisme Islam, mereka juga menentang pola hubungan antara bangsawan dan orang biasa. Mereka melawan perkawinan hipogami dan eksogami yang diberlakukan para bangsawan Sasak untuk menjaga jarak dengan orang kebanyakan. Ortodoksi Islam punya pengadilan agama yang mengurusi masalah perkawinan, pembagian harta warisan, perceraian dan perselisihan keluarga lainnya. Fungsi ini, pada gilirannya, melemahkan peran penting pejabat adat yang sebelumnya menjalankan kewajiban ini.
Islam ortodoks memancing konflik di tingkat elit dan ideologis. Konflik pada tingkat elit dalam bentuk persaingan pengaruh dan status antara Tuan Guru ortodoks dan kaum bangsawan Sasak maupun antara Tuan Guru selaku pemuka Islam dan Pemangku sebagai pemimpin adat. Konflik kian menajam ketika seluruh golongan Waktu Lima bersatu padu menyebarkan ajaran mereka di Bayan melalui misi dakwah. Misi dakwah di Bayan dilakukan oleh murid-murid Tuan Guru H. Safwan Hakim dari pesantren Nurul Hakim, masih jauh dari berhasil karena hanya mampu menarik sedikit warga Wetu Telu. Kenyatan yang demikian ini sudah cukup membuat para pemimpin adat tradisional merasa terancam dan menghawatirkan posisi mereka. Beberapa langkah strategis yang diambil pemangku adat Bayan Agung antara lain: melarang para kiai untuk ikut serta dalam segala macam ibadah berjamaah yang diselenggarakan di masjid Waktu Lima dan membatasi tugas-tugas mereka hanya dalam innstitusi Wetu Telu, yakni masjid kuno Wetu Telu dan makam keramat. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar kaum Wetu Telu tidak mengendurkan kesetiaan mereka terhadap nilai-nilai leluhur.
Revitalisasi Islam di Lombok lebih banyak diprakarsai oleh Tuan Guru dengan dukungan pengikut setianya ketimbang oleh pemerintah. Penyebaran misi semakin termotivasi pleh ajaran Nabi balliqhu ‘annii walau aayah. Dalam Islam dakwah adalah upaya tiada akhir. Hal ini mendorong para pemuka Islam untuk menyebarkan ajaran sejati Islam dalam segala situasi politik. Sungguhpun ada pendukung tertentu dari kelompok ortodoksi Islam yang sekali tempo mengubah apliasi politik mereka, hal itu tidak mengurangi kegigihan usaha mereka. Dengan kata lain, menyebarkan dakwah adalah aktifitas otonom Tuan Guru yang sama sekali kebal dari pengaruh rezim politik yang berkuasa.
Kaum Wetu Telu kini sudah berada dalam posissi minoritas dihadapan para agresi kultural kaum Waktu Lima. Dengan memperhitungkan peningkatan penetrasi gerakan Islam ortodoks, beriringan dengan ketatnya kontrol pemerintah dan pembangunan perekonomian baru di Bayan, lama kelamaan integritas dan pandangan relijius komunitas Wetu Telu Bayan akan mengalami transformasi. Dengan kata lain, di bawah tekanan terus-menerus dari kekuatan-kekuatan eksternal itu, sukar mempercayai bahwa di kemudian hari tradisi keagamaan Wetu Telu di Bayan akan sama seperti masa lalu dan masa kini.


F. Catatan
1. Hasil Penelitian
Agama Sasak atau lebih spesifik lagi Islam Sasak merupakan cermin dari agama lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang universal, seperti yang terjadi di Bayan Lombok. Islam Wetu Telu dianggap sebagai tata cara keagamaan Islam yang salah oleh kalangan Islam Waktu Lima. Islam Sasak pada dasarnya juga Islam, sebagaimana Islam Jawa, Islam Melayu dan sebagainya. Islam Sasak dalam hal ini Wetu Telu sering dipertentangkan dengan Waktu Lima. Penelitian yang dilakukan Erni Budiwanti menunjukkan adanya “serangan” dakwah yang terus menerus yang dilakukan Islam Waktu Lima terhadap Wetu Telu. Melihat kenyataan ini timbul beberapa pertanyaan yang cukup mendasar, mengapa keyakinan Islam yang benuansa lokal selalu termarjinalkan ?, bukankah ini justru bukti pluralitas keagamaan dalam Islam sendiri yang menunjukkan keramahannya terhadap budaya lokal ?
Pendekatan etnografis dalam melihat fakta-fakta sosial budaya dan keagamaan suatu masyarakat telah memperlihatkan orisinalitasnya yang khas. Kebudayaan lokal, tradisi lokal dan agama lokal dianggap sebagai entitas sosial budaya yang terbelakang, kumuh tidak rasional dan cermin kebodohan yang tidak memiliki visi kemajuan. Pandangan seperti ini sebenarnya sudah dikritik sebagai bias modernisme. Peradaban modern yang mengklaim diri sebagai ilmiah dan universal, sebenarnya memiliki watak penetratif dalam dirinya. Universalisme adalah kebenaran yang dinilai paling rasional, sehingga perlu melakukan “penyelamatan” terhadap manusia dari “peradaban Lumpur”. Akibatnya banyak hal yang dilakukan atas nama kemajuan dan modernitas justru membenamkam manusia ke dalam kondisi ketimpangan, pengingkaran hak azasi manusia, dan alienasi.
Begitu halnya yang terjadi dengan agama dunia dan agama tradisional sebagaimana digambarkan oleh Erni Budiwanti dalam bukunya merupakan cermin dari pergulatan agama lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang universal. Islam Wetu Telu (Islam lokal) di Bayan Lombok, banyak di peluk oleh penduduk Sasak asli. Wetu Telu dianggap sebagai tata cara keagamaan Islam yang salah, bahkan cenderung syirik oleh kalangan Waktu Lima, sebuah varian Islam universal yang dibawa oleh orang-orang dari daerah-daerah lain di Lombok. Islam Waktu Lima sejak awal kehadirannya disengaja untuk melakukan dakwah Islamiyah terhadap kalangan Wetu Telu.
Secara sederhana Wetu Telu merupakan sejenis Islam yang dijalankan dengan tradis-tradisi lokal dan adat Sasak. Varian Islam ini lebih mirip dengan Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, seperti yang ditulis Mark Woodward dalam bukunya Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan.
Dalam agama Wetu Telu, yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan pengetahuan tentang Islam sebagai rumusan ajaran yang datang dari negeri Arab. Akan tetapi juga bukan tidak menggunakan Islam sama sekali, dalam soal doa-doa, tempat peribadatan masjid dan beberapa ibadah lain, merupakan introduksi keislaman mereka.
Disebut Wetu Telu, menurut penganutnya, bukanlah berarti waktu (Wetu) tiga (Telu), melainkan bermakna tiga kemunculan hidup (Metu Telu): melahirkan (menganak), bertelur (Menteluk) dan bertumbuh dalam biji (mentiup). Di samping itu, ada beberapa pemahaman dan pandangan lain tentang Islam Wetu Telu, yaitu bahwa Wetu Telu mencerminkan keinginan untuk jadi Islam yang ringan-ringan saja. Salat cukup tiga kali, yaitu Idul Fithri, Idul Adha, dan salat Janazah. Puasa cukup tiga saja, puasa awal, tengah, dan akhir. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Wetu Telu mempunyai keyakinan tidak perlu melakukan salat, puasa dan zakat, karena sudah terwakili oleh Ma Kiai, Ketua Adat, pemangku dan penghulu. Banyak orang mengangap Wetu Telu sebagai waktu tiga, yang sering dimaknai dengan salat tiga waktu dengan semuanya empat rakaat, bukan lima waktu sebagaimana ketentuan dalam agama Islam.
Namun demikian, menurut Johan Bachry, salah satu budayawan Lombok, meyakini Wetu Telu punya nilai luhur yang tidak bertentangan dengan agama. Seiring dengan perkembangan zaman, ia dipahami sebagai sebuah proses alamiah kehidupan, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan ibadah secara islami.
Salah seorang pemangku adat yang bernama Raden Sutandi , menjelaskan bahwa agama Islam Wetu Telu tak beda jauh dengan agama Islam pada umumnya. Bahkan ia tak pernah lelah menjelaskan bahwa Wetu Telu bukanlah Islam yang melaksanakan salat tiga kali sehari seperti yang menjadi anggapan pemeluk Islam lain. Ia juga tak henti-hentinya menyerukan agar warga Sasak menjaga tradisi dan nilai-nilai warisan leluhur agar tak kehilangan akar kepribadian. Islam tak harus dipertentangkan dengan tradisi lama, karena keduanya bisa menyatu untuk memberi kekuatan batin kepada masyarakat. Baginya, Wetu Telu sama halnya dengan aliran Islam lainnya yang berkembang karena perpaduan dengan situasi lokal di Desa Bayan.
Meskipun Erni Budiwanti, sebagai orang antropolog cenderung melihatkan sikapnya yang positif terhadap praktek-praktek misi atau dakwah yang dilakukan kalangan Waktu Lima terhadap penganut Wetu Telu, namun buku ini cukup dapat membuka pandangan orang untuk dapat memaklumi agama lokal, dalam hal ini Wetu Telu. Sikap ini memang berbeda dengan umumnya pandangan antropolog fungsionalis bahwa misiologi cenderung merusak kebudayaan lokal.
Bagi kalangan antropolog fungsionalis yang dirintis oleh Brownislaw Malinowski (1884-1942) asal Polandia, masyarakat ideal selalu berada dalam kondisi harmoni yang utuh dan ekuilibrium yang sempurna. Semua unsur yang berfungsi dalam masyarakat dan kebudayaan tersebut saling terkait dan tergantung. Setiap satu unsur budaya memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Pandangan ini yang mendasari sikap mereka tentang relativisme dan fungsionalisme budaya.
Lebih dari itu juga, Erni menunjukkan peran negara dalam proyek misionari ini yang justru menjadi soalnya. Karena proses akulturasi yang mestinya berlangsung damai dan interaktif horizontal antar masyarakat, berkembang menjadi penetrasi yang timpang dan bias kekuasaan. Sementara di sisi lain, ketika sedang menggelar program pengembangan pariwisata, pemerintah memperlakukan dan memelihara praktek tradisi lokal ini sebagai apa yang sering disebut “Panorama Nusantara”. Tradisi, agama dan kebudayaan lokal lalu diperlakukan sebagai “barang antik”, yang bisa dinikmati oleh para turis asing. Cara-cara pemerintah seperti ini banyak terjadi di berbagai tempat, yang dialami masyarakat Badui di Banten, masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya, beberapa tempat di Bali dan sebagainya.

2. Catatan Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografis dengan memanfaatkan beberapa tehnik pengumpulan data, meskipun tehnik utamanya adalah tehnik pengamatan berperan serta [pengamatan terlibat – participant observation]. Dengan pendekatan etnografi maka tujuannya menguraikan suatu budaya secara menyeluruh yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material seperti artefak budaya dan yang bersifat abtrak seperti pengaalaman kepercayaan, norma dan sistim nilai kelompok yang di teliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi.
Dalam penelitiannya Erni juga menggunakan tehnik penelitian kuantitaif, untuk mendapatkan data-data kuantitatif yang membantu untuk mencapai tujuan etnografi yang baik. Menurut Denzin : Pengamatan berperan serta adalah strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden dan informan, participant dan observasi langsung dan intropeksi.
Meskipun bisa dibedakan secara teoritis, dengan teknik yang lain seperti wawancara mendalam dan lainnya namun kenyataannya pengamatan berperan serta bukan suatu metode tunggal. Bahkan mayoritas pakar sepakat pengamatan berperan serta mencakup tehnik-tehnik diatas. Jarang seorang pengamat berperan serta melakukan sekedara tanpa melakukan wawancara atau sekedar percakapan informal untuk mengkonfirmasikan apa yang ia lihat. Iapun ada kalanya menggunakan dokumen untuk medukung data yang ia peroleh untuk medukung data yang ia peroleh.
Menurut Denzin : kombinasi pengamatan dan wawancara konsisten dengan metode logis interaksionisme simbolik dapat memungkinkan peneliti mengawinkan sifat-sifat tertutup tindakan social dengan sifat-sifat terbuka yang diamati. Wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta saling melengkapi dan dan mengurangi ketidakajegan.
Menurut Mc Call dan Simmons, meskipun pengamatan langsung diperlukan, aktivitas ini sendiri sering tidak memadai untuk memungkinkan peneliti memperoleh uraian menyeluruh, misalnya ketika meneliti suatu komunitas atau organisasi. Alasannya 1) apa yang diteliti juga secara simultan berada di tempat lain 2) apa yang diteliti sudah ada sebelum peneliti memulai penelitian. 3) banyak ciri atau determinantnya [seperti motif, maksud, kepentingan, dan persepsi anggota] hanya dapat dididuga berdasarkan pengamatan langsung. Berdasarkan alasan pertama dan kedua, pengamatan tidak langsung juga perlu dilakukan untuk melengkapi pengamatan langsung peneliti, yang dapat diperoleh dari orang-orang berpengetahuan dalam lapangan itu ketika peneliti tidak berada di sana. Mereka inilah yang disebut INFORMAN. Untuk menghindari laporan asal-asalan atau menyesatkan, informan tidak boleh melaporkan sekedar kesan atau generalisasi subjektifnya.
Alasan ketiga, menuntut peneliti melakukan tehnik lain yakni wawancara dengan anggotanya mengenai motif, maksud dan penafsiran mereka atas peristiwa. Ini memberikan cek kritis mengenai validitas sebagain dugaan yang dibuat peneliti. Orang yang melaporkan perilaku dan pikiran inilah yang disebut RESPONDEN.
Secara teoritis dapat dibedakan, namun dilapangan seseorang dapat sekaligus menjadi informan dan responden. Simmel : tidaklah mudah memahami dunia makna suatu kelompok kecuali bila kita memahami bahasa yang digunakan kelompok orang itu untuk mengkomunikasikan makna yaitu kata-kata dan isyarat –isyarat nonverbal yang mereka gunakan dalam situasi-situasi khusus.
Taktik pengamatan berperan serta
Pengamatan berperan serta merupakan seni atau kreatifitas. Keterlibatan peneliti bisa terbuka [diketahui orang dalam], bisa juga tersembunyi [tanpa diketahui orang dalam], atau dalam kebanyakan kasus orang dalam akan diberitahu peneliti mengenai minat dan tujuan peneliti.
Menggunakan katagori Denzin, salah satu jenis pengamat adalah
1] Peserta sebagai pengamat [participant as observer], dengan membiarkan kehadirannya sebagai peneliti dan mencoba membentuk serangkaian hubungan dengan subjek sehingga mereka berfungsi sebagai responden dan informan.
2] Participant penuh [complete participant], yang niatnya untuk meneliti tidak diketahui ketika ia mengamati pihak yang ditelitinya.
3] Pengamat sebagai participant [observer as participant] yang lazimnya merepresentasikan situasi yang memungkinkan peneliti melakukan sekali kunjungan atau wawancara dengan responden.
4] Pengamat penuh [complete observer] yang tidak melibatkan interaksi sosial.
Adalah penting bagi pengamat untuk memainkan berbagai peran yang sesuai dengan situasi. Jadi hingga derajat tertentu mereka juga melakukan pengelolaan kesan dihadapan subjek penelitiannya, untuk mencapai hubungan yang cukup nyaman dengan orang-orang yang mereka diamati. Keterjagaan hubungan antara peneliti dan pihak yang diteliti merupakan kunci penting keberhasilan penelitian, karena hanya dengan dengan memelihara hubungan itulah peneliti dapat melihat dunia sekeliling subjek penelitian dengan menggunakan kacamata subjek penelitian. Oleh karena itu dalam pihak laporan penelitian, mekanisme hubungan antara pengamat dan pihak yang diamati termasuk problem yang dihadapi ketika memasuki dunia orang-orang yang diteliti biasanya disinggung oleh peneliti.
Metode penelitian ini tidak mudah, sehingga diperlukan kepekaan, keterampilan dan juga seni. Kemampuan untuk berempati dan gaul dengan orang lain jelas merupakan modal penting. Suatu prosedur yang sering dikenal dalam pengamatan berperan serta adalah “mencuri dengar” [Eavesdropping] : Mencuri dengar bersifat alamiah ; peneliti tidak perlu selalu meminta informasi –informasi diberikan ketika subjek menyadari kehadiran peneliti atau tidak. Bahkan secara kebetulan mendengar akhir percakapan telpon pun dapat menghasilkan temuan penting. Dalam artian ini, mendengarkan suara yang tidak diminta sama fungsinya dengan menyaksikan adegan kegiatan yang sedang berlangsung.
Suatu taktik yang lain adalah apa yang dilakukan “pelacak” [tracer] yakni mengikuti seseorang dalam melakukan serangkaian aktivitas normalnya selama periode waktu tertentu, data yang diperoleh dapat melengkapi data yang diperoleh lewat wawancara mendalam.
Wawancara secara garis besar terbagi menjadi dua yakni wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, dan wawancara terbuka [open ended interview] wawancara etnografis, yang mirip percakapan informal, sehingga merupakan kreasi interaksional kedua belah pihak yakni peneliti dapat berupaya mengambil peran pihak yang diteliti [taking the role of the other] secar intim menyelam ke dalam dunia psikologis dan social mereka. Sehingga seyogjanya menggunakan bahasa yang akrab dan informal. Dengan wawancara ini, dapat memperoleh informasi di bawah permukaan dan menemukan apa yang orang pikirkan dan rasakan mengenai peristiwa tertentu.

Sabtu, Juli 26, 2008

MULTIETHNIC CONFLICT

MULTIETHNIC CONFLICT IN WEST KALIMANTAN


by : MR Alhindy

As a nation with multiethnic, Indonesia has potency of conflict. From perspective of intercultural communications, inter-ethnic conflict can initiate from cultural identity differences which communicated ethnocentrism. The social conflict apparently rather was difficult to be separated from the dynamism of the life of the Kalimantan community. After that, the dispute between-ethnic groups happened again in Sambas, then was followed in the Pontianak City, and finally in Sampit and spread to all the territories in Central Kalimantan.

The native of West Kalimantan were the Dayak Ethnic Group who lived as farmers and fishermen were defferent from the origin of their ethnic group. The other ethnic groups that also entered the Kalimantan were from Malay, Chines, Madurese, Bugis, Minang, Batak, and Javanes.
In daily communication these heterogeneous inhabitants use Indonesian or Malay as the colloquial language. But, because of the low level of their educational background, most of them used their own regional language. Therefore, misunderstanding often occurred among them. At first, if Madurese spoke with the people of Dayak, the style of Madurese language was perceived by the Dayak people as arrogant and coarse.

Cultural differences can lead to the cause of the emergence of a conflict to the community from different social ethnic group culture. The conflict between Dayak and Madura happened in the end of 1996, that is the occurrence of the Sanggau Ledo case, the Bengkayang Regency (before mid 1999 including the Sambas Regency), in West Kalimantan.

Two major conflicts have occurred in West Kalimantan within the last nine years. In 1996-1997, Dayak waged a “ritual war” against Madurese communities, following a fight in Sanggau Ledo, West Kalimantan, between Madurese and Dayak youths during which two Dayak were stabbed. The Dayak burned houses and killed their inhabitants. In some cases, they severed the heads of their victims and ate their livers, in a revival of a traditional Dayak method of revenge. Human Rights Watch reports that around 500 people, mostly Madurese, were killed and about 20,000 were evacuated.

After the fall of the Suharto regime in 1999, violence broke out again, this time in the area of Sambas, West Kalimantan. During 1999-2000, this area witnessed some of Indonesia's most vicious ethnic killings. There were a reported 186 killed, although unofficial estimates are much higher, during clashes between Dayak and Madurese, causing the Madurese community to escape. By the year 2000, the number of Madurese refugees in West Kalimantan exceeded 50,000.

The conflict between 3 ethnic group in West Kalimantan (Dayak and Malay versus Madura) reached it’s peak during 1999 and 2000. The thousands of people were killed cruelly; property and proprietary rights were destroyed or burnt, plundered or damaged and hundreds of thousands of people souls from ethnic Madura now live as refugees in various places in Singkawang, Pontianak, Surabaya and the Madura Island. Consequently the government must provide billion rupiahs for helping their life, and must face the political pressure in connection with rumours of these refugees.

Madurese who fled the fighting in West Kalimantan are still living as refugees in West Kalimantan, East Java and Madura Island and it appears they will not be able to return to their homes anytime soon. It is notclear where or when they will be relocated. 40,000 of the approximately 60,000 refugees who fled Sambas in 1999 are still living in temporary camps in Pontianak, the capital of West Kalimantan. Refugees are living in makeshift barracks and public buildings, including sports centers. Incidents of violence have occasionally broken out between the refugees and Dayak and Malay residents of Pontianak. As of September 2001, the government had relocated around 7,000 families to the resettlement areas of Sei Asam and Tebang Kacang (about 30 miles south of Pontianak), following threats from Dayak of further bloodshed.

Now, the problem of these refugees hasn’t still been resolved yet. In the locations, there are of the disturbances personally, especially in the Sambas Regency (the ethnic majority Malay) and the Bengkayang Regency (Dayak), the situation has indeed been peaceful and restrained, without ethnic Madura completely. Some Madurese who tried to return home Kalimantan to visit their house or garden; evidently they did not come back. Might be they were killed by Dayak and Malay. The community in two areas, stated that they did not want to have Madurese again in their area up until 25 years in the future.

The conflict between ethnic Dayak and Madura in West Kalimantan, has been a chronic sign since the 1930 's. In the year 1999-2000, the conflict even spread to weaken ethnic groups and his impact was not yet resolved until now even it is until 25 years in the future the refusal ethnic Madura still continus. It is hoped that the change the pattern of education and the development of the area could change the thought and motivation of ethnic Dayak and Malay as indigenous people and refined ethnic Madura as the immigrants.