Selasa, Mei 05, 2009

ISLAM SASAK : WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA

ISLAM SASAK : WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA
(TELAAH METODOLOGI KARYA ERNI BUDIWANTI)
Oleh :
Muhammad Rahmatullah
A. Pendahuluan
Sasak adalah nama suku asli Pulau Lombok, terletak antar Pulau Bali dan Sumbawa, yang kini berada di daerah Bayan, sekitar Gunung Rinjani. Komunitas Suku Sasak terbagi dalam dua komunitas, yaitu penganut Islam Wetu Telu dan penganut Islam Waktu Lima.
Wetu Telu adalah orang Sasak yang meskipun mengaku sebagai Muslim, masih sangat percaya terhadap ketuhanan animistic leluhur maupun benda-benda antropomorfis. Dalam hal ini mereka adalah panties. Sebaliknya, Waktu Lima, adalah orang Muslim Sasak yang mengikuti ajaran syari’ah secara lebih keras sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis. Mengikuti dikotomi Geertz, agama Wetu Telu lebih mirip dengan Islam Abangan yang sinkretik, walaupun Waktu Lima tidaklah seperti bentuk Islam Santri.
Kendati Islam sudah lama masuk ke Pulau Lombok, namun pengikut Wetu Telu melebihi bilangan penganut Waktu Lima hingga lima dekade awal abad ini. Sekarang sebagai kelompok minoritas, sistem kepercayaan Wetu Telu terus ditekan untuk menyesuaikan diri dengan praktek-praktek mayoritas.
Alasan utama Erni Budiwanti melakukan penelitian di Bayan Barat Laut Lombok, yang merupakan salah satu komunitas kampung Sasak adalah karena orang Sasak Asli (indigenous) yang tinggal di Bayan telah menjadi sasaran kegiatan-kegiatan dakwah dari kalangan muslim Waktu Lima. Dan kegiatan-kegiatan dakwah Waktu Lima ke daerah-daerah Wetu Telu yang mendorong peneliti untuk meneliti dan menelusuri bagaimana kegiatan-kegiatan demikian berkembang sepanjang waktu, dan mempengaruhi organisasi-organisasi dan struktur sosial lokal.

B. Fokus Penelitian
Studi tentang masyarakat Sasak Bayan di Lombok ini terfokus pada konflik ideologis antara dua kultural relijius: Wetu Telu dan Waktu Lima. Mempelajari budaya keagamaan orang Sasak wetu Telu di Lombok Barat Laut dan proses transformasinya merupakan suatu topik yang penting. Studi ini tidak hanya berupaya menguraikan bagaimana orang Bayan mempertahankan identitas dan praktek-praktek sosial budaya yang berbeda, tetapi juga memberikan pengetahuan bagaimana orang Bayan berusaha menahan dan menghadapi upaya yang intensif dari penyiaran kegiatan-kegiatan dakwah Islam Waktu Lima untuk memurnikan iman dan praktek keagamaan mereka.
Penelusuran terhadap berbagai kelompok dakwah Islam yang bekerja di kalangan orang Bayan Wetu Telu juga sangat penting. Dinamika sosial berbeda dengan antagonisme sosial yang ada diantara da’i-da’I Waktu Lima dan orang Wetu Telu. Beberapa isu utama yang didiskusikan yang berkaitan dengan antagonisme keagamaan ini, yaitu :
1. Bagaimana masyarakat Wetu Telu dan pemimpin mereka menghadapi penetrasi kegiatan dakwah ?
2. Bagaimana para da’i menghadapi dan mempertahankan misi dakwah mereka kendati mendapat tantangan dan reaksi yang keras dari orang Wetu Telu ?

C. Tujuan Penelitian
Pertama, untuk menggambarkan watak Islam parokial di Lombok dan bagaimana pembagian-pembagian sosial keagamaan di kalangan orang Sasak terjadi dan sepanjang waktu. Dan menguraikan simbol-simbol serta sifat-sifat utama yang memisahkan dua kelompok Sasak tersebut (Wetu Telu dan Waktu Lima).
Kedua, untuk memberikan suatu catatan tentang perkembangan misi dakwah yang dilakukan di Bayan, dan pengaruhnya terhadap struktur komunitas tersebut.
Ketiga, untuk mengidentifikasi peran Negara berkaitan dengan pelestarian budaya Wetu Telu di satu sisi, dan promosi kegiatan-kegiatan dakwah Waktu Lima ke daerah Wetu Telu di sisi lain.
Keempat, untuk menganalisis karakteristik konflik sosial yang melibatkan pata pemimpin (tradisional) asli dan para da’i. Hal ini dilakukan agar dapat menjelaskan tentang problem sosial budaya maupun politik saat itu yang dihadapi oleh orang Bayan asli.

D. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini Erni Budiwanti menggunakan pendekatan antropologis dengan model penelitian etnografi. Etnografi merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak terkait dengan antropologi, yang mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek studi.
Lebih jauh lagi, etnografi telah dikembangkan menjadi salah satu model penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat fenomenologi. Studi etnograpi merupakan salah satu deskripsi tentang cara mereka berfikir, hidup, berperilaku.

2. Pemilihan Lokasi
Bayan merupakan sebuah masyarakat desa yang terletak di daerah pegunungan di Barat Laut Lombok. Bayan adalah salah satu desa yang secara administratif berada di bawah pemerintahan Kecamatan Bayan dan Kabupaten Lombok Barat.
Bayan adalah desa yang heterogen. Desa itu terdiri dari lingkungan tempat tinggal yang dihuni orang Bayan asli Wetu Telu, pendatang Waktu Lima dan Hindu Bali. Penduduk asli dibagi berdasarkan status antara para bangsawan dan orang biasa, dan berdasarkan sistem silsilah keturunan. Masing-masing kelompok baik para bansawan maupun orang biasa bersatu di bawah silsilah keturunannya, dan terikat dengan para leluhurnya. Pemukiman mereka ditandai dengan tempat pemakaman eksklusif leluhur. Para pendatang Waktu Lima cenderung mengelompokkan diri berdasarkan desa atas mereka. Mereka dapat dibedakan berdasarkan Tuan Guru mereka yang mereka ikuti.
Masyarakat Wetu Telu Bayan memiliki kepercayaan dan praktek yang berbeda dari kelompok Waktu Lima seperti tiga sistem reproduksi mereka. Wetu Telu percaya pada Tuhan yang menciptakan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama tetapi tidak seperti kelompok Waktu Lima mereka tidak mengabaikan kosmologi mereka sendiri. Dalam prakteknya agama masyarakat Wetu Telu Bayan sarat diwarnai kepercayaan tentang roh. Juga di satu sisi mereka menerima kemahakuasaan Tuhan, namun di sisi lain orang-orang Bayan memuja arwah para leluhur mulai dari Adam dan Hawa hingga mereka yang baru-baru ini meninggal. Sekalipun arwah para leluhur tunduk pada mereka, mereka tetap memegang peran sebagai penghubung yang mampu menjadi perantara antara orang Bayan dengan Tuhan.
Masyarakat Bayan juga percaya akan adanya roh penunggu yang mendiami benda-benda mati sepereti rumah, wilayah perbatasan desa, tanah, bebatuan, sungai dan gunung. Masyarakat Wetu Telu percaya bahwa seluruh makhluk hidup, khususnya manusia, eksistensinya berada dalam sebuah urut-urutan siklus kehidupan tiga tingkat. Yaitu 1) dilahirkan, 2) hidup dan beranak pinak, serta 3) mati. Dengan begitu setiap tahap siklus kehidupan seseorang harus ditandai dengan suatu ritual tranformasi yang mengarah pada status yang lebih tinggi. Perubahan itu tidak hanya bersifat biologis atau fisik belaka, melainkan juga menandai kedudukan sosial. Melalui kematian seseorang menjadi satu dengan arwah lelluhur yang dihormati. Ritus kematian dan pasca kematian menjamin hal itu.
Kebanyakan ritus-ritus Wetu Telu saat ini mendasarkan diri pada penanggalan Qamariyah Islam. Tiga kelompok arwah : leluhur, epen bale, dan epen gubug senantiasa diundang dalam ritual-ritual berdasarkan sistem penanggalan Islam.
Orang-orang Waktu Lima menganggap ritus-ritus Wetu Telu sebagai tidak Islami, sungguhpun mereka menghormati hari-hari besar Islam. Ada tiga perbedaan utama dalam merayakan peristiwa-peristiwa penting Islam antara orang-orang Wetu Telu dan Waktu Lima. Dalam peringatan Maulud, di kelompok Wetu Telu pemujaan terhadap Adam dan Hawa menjadi fokus perayaan, sedangkan dalam kelompok Waktu Lima yang menjadi titik utamanya adalah kelahiran Nabi Muhammad. Saat menghormati Adam dan Hawa sekalipun orang Waktu Lima melakukan hal itu untuk menghormati asal usul umat manusia dan bukan sebagai semacam nenek moyang jauh. Jika orang Waktu Lima mengenang mereka karena kisah-kisah dalam Al-Qur’an, orang-orang Wetu Telu malah berusaha mengambil hati kedua orang itu sebagai arwah yang memiliki kekuatan supranatural yang mampu mengantarkan berkah Tuhan kepada anak keturunannya.

3. Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan melalui 2 (dua) tahapan : pertama dari awal Oktober 1992 hingga awal Januari 1993, sedangkan tahap kedua dari awal Januari 1994 hingga akhir Januari 1995.
Peneliti dalam melakukan penelitian lapangan di Bayan, telah menempuh stuktur birokrasi yang kompleks, mulai dari tingkat pusat hingga desa. Yaitu Surat Ijin Penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) harus mendapat pengesahan dari Direktorat Jederal Sosial Politik. Selanjutnya diajukan permohonan untuk melakukan penelitian ke pejabat birokrasi pemerintahan yang lebih rendah, yaitu : propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Proses perijinan ini membutuhkan waktu kurang lebih sebulan.
Peneliti melakukan penelitian ini dengan bertempat tinggal atau berada di tengah-tengah masyarakat Bayan. Dengan demikian peneliti mempunyai banyak kesempatan untuk melihat lebih dekat dan nyata segala sesuatu dari “dalam” dan mengumpulkan informasi dari perspektif dan narasi lokal. Tentu saja hal ini mendatangkan banyak tantangan dalam menjalaninya.
Ketika berada di Bayan, peneliti berusaha beradaptasi dengan lingkungan sosial-ekonomi, sosial-budaya, karena peneliti memiliki latar belakang yang berbeda dengan masyarakat Bayan. Secara perlahan peneliti mencoba untuk menyerap pengetahuan kebudayaan orang Bayan, baik dengan maupun tanpa mereka.
Peneliti mengakui bahwa bahasa menjadi kendala utama dalam mengumpulkan data dan pada akhirnya peneliti memiliki sifat ketergantungan pada penerjemah ketika melakukan wawancara.
Hubungan antara peneliti dan penduduk desa berkembang sejajar dengan frekuensi waktu yang ia habiskan dengan mereka. Dan peneliti tinggal pada sebuah keluarga yang telah menganggapnya sebagai “anak angkat”. Karena status peneliti saat itu masih gadis (belum berkeluarga), maka banyak keterbatasan yang dialami peneliti, yang memungkinkan hilangnya beberapa peristiwa penting. Selain itu ada batasan tertentu bagi seorang wanita untuk tidak boleh masuk masjid tua dan makam leluhur. Ini menghambat peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang ritual yang berhubungan dengannya.
Peneliti mengakui bahwa ada satu bentuk lemahan teknik pengalaman terlibat di lapangan, yaitu bahwa perspektif lokal yang didapatkan di dalam penelitian ini dihasilkan dari kerjasama dengan sejumlah informan dan tipenya terbatas. Diakui oleh peneliti bahwa temuan-temuan penelitian sangat banyak dipengaruhi dan dibimbing oleh pandangan-pandangan dan pendapat-pendapat pribadi dari beberapa informan tertentu.

E. Hasil Penelitian
Studi tentang masyarakat Sasak Bayan di Lombok ini terfokus pada konflik ideologis antara dua cultural relijius: Wetu Telu dan Waktu Lima. Penilaian sosio relijius orang-orang sasak menjadi Wetu Telu dan Waktu Lima tidak sepenuhnya mempresentasikan atau mengkomfirmasikan dikotomi santri abangan Geertz, walaupun ciri khas relijius Wetu Telu, hingga batas-batas tertentu, bisa dikatakan mempunyai kemiripan dengan ciri kaum abangan. Golongan Waktu Lima pun memiliki beberapa kesamaan dengan kaum santri. Pembedaan antara Wetu Telu dan Waktu Lima harus dilihat dengan pertolongan sebuah model dinamik yang menandai variabel-variabel perubahan dan intensitas konflik ideologis bukan dengan cara yang dikotomis dan statis. Hal inilah yang ingin diterapkan oleh Erni Budiwanti melalui telaah etnografis.
Beralihnya orang Sasak dari Boda menjadi Islam, kemudian dari muslim sinkretis dan nominal (Wetu Telu) menjadi orang Islam sempurna (Waktu Lima), memperlihatkan dinamisme kultural dalam cara Islam disebarkan, kemudian diserap, diakomodasi dan diekspresikan di Indonesia. Dinamisme cultural juga melatari fakta bahwa aktivitas penyebaran dan penanaman ajaran Islam merupakan proses panjang dan berkesinambungan dalam antagonisme dan asimilasi tiada kesudahan.
Islam masuk pada abad XVI oleh penakluk dari Jawa dan kemudian penakluk dari Makassar pada abad XIX uintuk menggantikan Boda, agama asli Sasak. Perubahan itu menandai masuknya orang-orang Sasak sabagai Islam Wetu Telu dan, untuk sebagaian besar membiarkan berlanjutnya praktek-praktek Hindu, animisme dan antropomorfisme di samping Islam. Peralihan menjadi Islam berlanjut dengan dibumbui kepercayaan kepada berbagai macam roh dan ritual untuk menghormati dan mengagungkan nenek moyang dan arwah openunggu seperti arwah penunggu desa, penunggu tanah, air dan gunung. Watak sinkretis Wetu Telu juga dicirikan dengan kelonggarakan dalam menjalankan perintah agama Islam seperti yang jelas terlihat dalam tidak dilakukannya ibadah wajib seperti sholat, puasa, menunaikan haji serta mengabaikan ajaran Islam yang mengharamkan alkohol. Doa-doa dalam bahasa Arab jarang ada yang paham, beribadah di Masjid jarang-jarang dilakukan, pengetahuan tentang teologi dan hukum Islam sangat terbatas hingga saat ini.
Sebagian sinkretis Wetu Telu sedikit demi sedikit digeser oleh ortodoksisme Islam. Yang menjadikan dasar perubahan adalah ide tentang pergi haji ke Mekkah. Mereka yang menempuh perjalanan relijius itu mempelajari praktek-praktek Islam yan “lebih murni” di Arab. Setelah menyelesaikan ibadah haji, sebagian dari mereka tidak langsung pulang ke Lombok, mereka mempelajari agama Islam dan menggabungkan diri dengan ulama besar Islam. Setelah tiba kembali di kampung halaman, mereka mulai mengajar rekan-rekan sedesa mereka dan secara bertahap menyusun langkah untuk menjaring pengikut secara besar-besaran. Status tinggi yang mereka dapatkan selaku pemimpin agama yang terhormat dengan gelar Tuan Guru berjalan seiring dengan berkembangnya jumlah siswa mereka yang selanjutnya juga menjadi pengikut-pengikut setia mereka. Selama berlangsungnya aktivitas mengajar Tuan Guru menyediakan pondok pesantren. Pertumbuhan ortodoksi Islam makin terlihat jelas dengan munculnya pusat-pusat pendidikan ini yang dipimpin Tuan Guru.
Tujuan Tuan Guru mendirikan pondok pesantren dan madrasah baru adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang doktrin sejati Islam dan menggusur agama Wetu Telu. Islam Wetu Telu dipandang masih belum sempurna. Agama ini terlalu banyak campuran lokalnya. Melalui pondok pesantren dan madrasah, keliompok Waktu Lima berusaha mengajak kaum Wetu Telu untuk meninggalkan kepercayaan kuno mereka demi mencapai bentuk Islam yang sempurna.
Ortodoksi Islam di Lombok juga meliputi evaluasi atas berbagai kelemahan adat konservatif dan statis. Para pendukung ortodoksi Islam (Waktu Lima) menantang adat komunitas Wetu Telu. Melalui monoteisme Islam, mereka ingin membersihkan Islam dari adat setempat. Melalui egalitarianisme Islam, mereka juga menentang pola hubungan antara bangsawan dan orang biasa. Mereka melawan perkawinan hipogami dan eksogami yang diberlakukan para bangsawan Sasak untuk menjaga jarak dengan orang kebanyakan. Ortodoksi Islam punya pengadilan agama yang mengurusi masalah perkawinan, pembagian harta warisan, perceraian dan perselisihan keluarga lainnya. Fungsi ini, pada gilirannya, melemahkan peran penting pejabat adat yang sebelumnya menjalankan kewajiban ini.
Islam ortodoks memancing konflik di tingkat elit dan ideologis. Konflik pada tingkat elit dalam bentuk persaingan pengaruh dan status antara Tuan Guru ortodoks dan kaum bangsawan Sasak maupun antara Tuan Guru selaku pemuka Islam dan Pemangku sebagai pemimpin adat. Konflik kian menajam ketika seluruh golongan Waktu Lima bersatu padu menyebarkan ajaran mereka di Bayan melalui misi dakwah. Misi dakwah di Bayan dilakukan oleh murid-murid Tuan Guru H. Safwan Hakim dari pesantren Nurul Hakim, masih jauh dari berhasil karena hanya mampu menarik sedikit warga Wetu Telu. Kenyatan yang demikian ini sudah cukup membuat para pemimpin adat tradisional merasa terancam dan menghawatirkan posisi mereka. Beberapa langkah strategis yang diambil pemangku adat Bayan Agung antara lain: melarang para kiai untuk ikut serta dalam segala macam ibadah berjamaah yang diselenggarakan di masjid Waktu Lima dan membatasi tugas-tugas mereka hanya dalam innstitusi Wetu Telu, yakni masjid kuno Wetu Telu dan makam keramat. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar kaum Wetu Telu tidak mengendurkan kesetiaan mereka terhadap nilai-nilai leluhur.
Revitalisasi Islam di Lombok lebih banyak diprakarsai oleh Tuan Guru dengan dukungan pengikut setianya ketimbang oleh pemerintah. Penyebaran misi semakin termotivasi pleh ajaran Nabi balliqhu ‘annii walau aayah. Dalam Islam dakwah adalah upaya tiada akhir. Hal ini mendorong para pemuka Islam untuk menyebarkan ajaran sejati Islam dalam segala situasi politik. Sungguhpun ada pendukung tertentu dari kelompok ortodoksi Islam yang sekali tempo mengubah apliasi politik mereka, hal itu tidak mengurangi kegigihan usaha mereka. Dengan kata lain, menyebarkan dakwah adalah aktifitas otonom Tuan Guru yang sama sekali kebal dari pengaruh rezim politik yang berkuasa.
Kaum Wetu Telu kini sudah berada dalam posissi minoritas dihadapan para agresi kultural kaum Waktu Lima. Dengan memperhitungkan peningkatan penetrasi gerakan Islam ortodoks, beriringan dengan ketatnya kontrol pemerintah dan pembangunan perekonomian baru di Bayan, lama kelamaan integritas dan pandangan relijius komunitas Wetu Telu Bayan akan mengalami transformasi. Dengan kata lain, di bawah tekanan terus-menerus dari kekuatan-kekuatan eksternal itu, sukar mempercayai bahwa di kemudian hari tradisi keagamaan Wetu Telu di Bayan akan sama seperti masa lalu dan masa kini.


F. Catatan
1. Hasil Penelitian
Agama Sasak atau lebih spesifik lagi Islam Sasak merupakan cermin dari agama lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang universal, seperti yang terjadi di Bayan Lombok. Islam Wetu Telu dianggap sebagai tata cara keagamaan Islam yang salah oleh kalangan Islam Waktu Lima. Islam Sasak pada dasarnya juga Islam, sebagaimana Islam Jawa, Islam Melayu dan sebagainya. Islam Sasak dalam hal ini Wetu Telu sering dipertentangkan dengan Waktu Lima. Penelitian yang dilakukan Erni Budiwanti menunjukkan adanya “serangan” dakwah yang terus menerus yang dilakukan Islam Waktu Lima terhadap Wetu Telu. Melihat kenyataan ini timbul beberapa pertanyaan yang cukup mendasar, mengapa keyakinan Islam yang benuansa lokal selalu termarjinalkan ?, bukankah ini justru bukti pluralitas keagamaan dalam Islam sendiri yang menunjukkan keramahannya terhadap budaya lokal ?
Pendekatan etnografis dalam melihat fakta-fakta sosial budaya dan keagamaan suatu masyarakat telah memperlihatkan orisinalitasnya yang khas. Kebudayaan lokal, tradisi lokal dan agama lokal dianggap sebagai entitas sosial budaya yang terbelakang, kumuh tidak rasional dan cermin kebodohan yang tidak memiliki visi kemajuan. Pandangan seperti ini sebenarnya sudah dikritik sebagai bias modernisme. Peradaban modern yang mengklaim diri sebagai ilmiah dan universal, sebenarnya memiliki watak penetratif dalam dirinya. Universalisme adalah kebenaran yang dinilai paling rasional, sehingga perlu melakukan “penyelamatan” terhadap manusia dari “peradaban Lumpur”. Akibatnya banyak hal yang dilakukan atas nama kemajuan dan modernitas justru membenamkam manusia ke dalam kondisi ketimpangan, pengingkaran hak azasi manusia, dan alienasi.
Begitu halnya yang terjadi dengan agama dunia dan agama tradisional sebagaimana digambarkan oleh Erni Budiwanti dalam bukunya merupakan cermin dari pergulatan agama lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang universal. Islam Wetu Telu (Islam lokal) di Bayan Lombok, banyak di peluk oleh penduduk Sasak asli. Wetu Telu dianggap sebagai tata cara keagamaan Islam yang salah, bahkan cenderung syirik oleh kalangan Waktu Lima, sebuah varian Islam universal yang dibawa oleh orang-orang dari daerah-daerah lain di Lombok. Islam Waktu Lima sejak awal kehadirannya disengaja untuk melakukan dakwah Islamiyah terhadap kalangan Wetu Telu.
Secara sederhana Wetu Telu merupakan sejenis Islam yang dijalankan dengan tradis-tradisi lokal dan adat Sasak. Varian Islam ini lebih mirip dengan Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, seperti yang ditulis Mark Woodward dalam bukunya Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan.
Dalam agama Wetu Telu, yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan pengetahuan tentang Islam sebagai rumusan ajaran yang datang dari negeri Arab. Akan tetapi juga bukan tidak menggunakan Islam sama sekali, dalam soal doa-doa, tempat peribadatan masjid dan beberapa ibadah lain, merupakan introduksi keislaman mereka.
Disebut Wetu Telu, menurut penganutnya, bukanlah berarti waktu (Wetu) tiga (Telu), melainkan bermakna tiga kemunculan hidup (Metu Telu): melahirkan (menganak), bertelur (Menteluk) dan bertumbuh dalam biji (mentiup). Di samping itu, ada beberapa pemahaman dan pandangan lain tentang Islam Wetu Telu, yaitu bahwa Wetu Telu mencerminkan keinginan untuk jadi Islam yang ringan-ringan saja. Salat cukup tiga kali, yaitu Idul Fithri, Idul Adha, dan salat Janazah. Puasa cukup tiga saja, puasa awal, tengah, dan akhir. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Wetu Telu mempunyai keyakinan tidak perlu melakukan salat, puasa dan zakat, karena sudah terwakili oleh Ma Kiai, Ketua Adat, pemangku dan penghulu. Banyak orang mengangap Wetu Telu sebagai waktu tiga, yang sering dimaknai dengan salat tiga waktu dengan semuanya empat rakaat, bukan lima waktu sebagaimana ketentuan dalam agama Islam.
Namun demikian, menurut Johan Bachry, salah satu budayawan Lombok, meyakini Wetu Telu punya nilai luhur yang tidak bertentangan dengan agama. Seiring dengan perkembangan zaman, ia dipahami sebagai sebuah proses alamiah kehidupan, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan ibadah secara islami.
Salah seorang pemangku adat yang bernama Raden Sutandi , menjelaskan bahwa agama Islam Wetu Telu tak beda jauh dengan agama Islam pada umumnya. Bahkan ia tak pernah lelah menjelaskan bahwa Wetu Telu bukanlah Islam yang melaksanakan salat tiga kali sehari seperti yang menjadi anggapan pemeluk Islam lain. Ia juga tak henti-hentinya menyerukan agar warga Sasak menjaga tradisi dan nilai-nilai warisan leluhur agar tak kehilangan akar kepribadian. Islam tak harus dipertentangkan dengan tradisi lama, karena keduanya bisa menyatu untuk memberi kekuatan batin kepada masyarakat. Baginya, Wetu Telu sama halnya dengan aliran Islam lainnya yang berkembang karena perpaduan dengan situasi lokal di Desa Bayan.
Meskipun Erni Budiwanti, sebagai orang antropolog cenderung melihatkan sikapnya yang positif terhadap praktek-praktek misi atau dakwah yang dilakukan kalangan Waktu Lima terhadap penganut Wetu Telu, namun buku ini cukup dapat membuka pandangan orang untuk dapat memaklumi agama lokal, dalam hal ini Wetu Telu. Sikap ini memang berbeda dengan umumnya pandangan antropolog fungsionalis bahwa misiologi cenderung merusak kebudayaan lokal.
Bagi kalangan antropolog fungsionalis yang dirintis oleh Brownislaw Malinowski (1884-1942) asal Polandia, masyarakat ideal selalu berada dalam kondisi harmoni yang utuh dan ekuilibrium yang sempurna. Semua unsur yang berfungsi dalam masyarakat dan kebudayaan tersebut saling terkait dan tergantung. Setiap satu unsur budaya memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Pandangan ini yang mendasari sikap mereka tentang relativisme dan fungsionalisme budaya.
Lebih dari itu juga, Erni menunjukkan peran negara dalam proyek misionari ini yang justru menjadi soalnya. Karena proses akulturasi yang mestinya berlangsung damai dan interaktif horizontal antar masyarakat, berkembang menjadi penetrasi yang timpang dan bias kekuasaan. Sementara di sisi lain, ketika sedang menggelar program pengembangan pariwisata, pemerintah memperlakukan dan memelihara praktek tradisi lokal ini sebagai apa yang sering disebut “Panorama Nusantara”. Tradisi, agama dan kebudayaan lokal lalu diperlakukan sebagai “barang antik”, yang bisa dinikmati oleh para turis asing. Cara-cara pemerintah seperti ini banyak terjadi di berbagai tempat, yang dialami masyarakat Badui di Banten, masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya, beberapa tempat di Bali dan sebagainya.

2. Catatan Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografis dengan memanfaatkan beberapa tehnik pengumpulan data, meskipun tehnik utamanya adalah tehnik pengamatan berperan serta [pengamatan terlibat – participant observation]. Dengan pendekatan etnografi maka tujuannya menguraikan suatu budaya secara menyeluruh yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material seperti artefak budaya dan yang bersifat abtrak seperti pengaalaman kepercayaan, norma dan sistim nilai kelompok yang di teliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi.
Dalam penelitiannya Erni juga menggunakan tehnik penelitian kuantitaif, untuk mendapatkan data-data kuantitatif yang membantu untuk mencapai tujuan etnografi yang baik. Menurut Denzin : Pengamatan berperan serta adalah strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden dan informan, participant dan observasi langsung dan intropeksi.
Meskipun bisa dibedakan secara teoritis, dengan teknik yang lain seperti wawancara mendalam dan lainnya namun kenyataannya pengamatan berperan serta bukan suatu metode tunggal. Bahkan mayoritas pakar sepakat pengamatan berperan serta mencakup tehnik-tehnik diatas. Jarang seorang pengamat berperan serta melakukan sekedara tanpa melakukan wawancara atau sekedar percakapan informal untuk mengkonfirmasikan apa yang ia lihat. Iapun ada kalanya menggunakan dokumen untuk medukung data yang ia peroleh untuk medukung data yang ia peroleh.
Menurut Denzin : kombinasi pengamatan dan wawancara konsisten dengan metode logis interaksionisme simbolik dapat memungkinkan peneliti mengawinkan sifat-sifat tertutup tindakan social dengan sifat-sifat terbuka yang diamati. Wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta saling melengkapi dan dan mengurangi ketidakajegan.
Menurut Mc Call dan Simmons, meskipun pengamatan langsung diperlukan, aktivitas ini sendiri sering tidak memadai untuk memungkinkan peneliti memperoleh uraian menyeluruh, misalnya ketika meneliti suatu komunitas atau organisasi. Alasannya 1) apa yang diteliti juga secara simultan berada di tempat lain 2) apa yang diteliti sudah ada sebelum peneliti memulai penelitian. 3) banyak ciri atau determinantnya [seperti motif, maksud, kepentingan, dan persepsi anggota] hanya dapat dididuga berdasarkan pengamatan langsung. Berdasarkan alasan pertama dan kedua, pengamatan tidak langsung juga perlu dilakukan untuk melengkapi pengamatan langsung peneliti, yang dapat diperoleh dari orang-orang berpengetahuan dalam lapangan itu ketika peneliti tidak berada di sana. Mereka inilah yang disebut INFORMAN. Untuk menghindari laporan asal-asalan atau menyesatkan, informan tidak boleh melaporkan sekedar kesan atau generalisasi subjektifnya.
Alasan ketiga, menuntut peneliti melakukan tehnik lain yakni wawancara dengan anggotanya mengenai motif, maksud dan penafsiran mereka atas peristiwa. Ini memberikan cek kritis mengenai validitas sebagain dugaan yang dibuat peneliti. Orang yang melaporkan perilaku dan pikiran inilah yang disebut RESPONDEN.
Secara teoritis dapat dibedakan, namun dilapangan seseorang dapat sekaligus menjadi informan dan responden. Simmel : tidaklah mudah memahami dunia makna suatu kelompok kecuali bila kita memahami bahasa yang digunakan kelompok orang itu untuk mengkomunikasikan makna yaitu kata-kata dan isyarat –isyarat nonverbal yang mereka gunakan dalam situasi-situasi khusus.
Taktik pengamatan berperan serta
Pengamatan berperan serta merupakan seni atau kreatifitas. Keterlibatan peneliti bisa terbuka [diketahui orang dalam], bisa juga tersembunyi [tanpa diketahui orang dalam], atau dalam kebanyakan kasus orang dalam akan diberitahu peneliti mengenai minat dan tujuan peneliti.
Menggunakan katagori Denzin, salah satu jenis pengamat adalah
1] Peserta sebagai pengamat [participant as observer], dengan membiarkan kehadirannya sebagai peneliti dan mencoba membentuk serangkaian hubungan dengan subjek sehingga mereka berfungsi sebagai responden dan informan.
2] Participant penuh [complete participant], yang niatnya untuk meneliti tidak diketahui ketika ia mengamati pihak yang ditelitinya.
3] Pengamat sebagai participant [observer as participant] yang lazimnya merepresentasikan situasi yang memungkinkan peneliti melakukan sekali kunjungan atau wawancara dengan responden.
4] Pengamat penuh [complete observer] yang tidak melibatkan interaksi sosial.
Adalah penting bagi pengamat untuk memainkan berbagai peran yang sesuai dengan situasi. Jadi hingga derajat tertentu mereka juga melakukan pengelolaan kesan dihadapan subjek penelitiannya, untuk mencapai hubungan yang cukup nyaman dengan orang-orang yang mereka diamati. Keterjagaan hubungan antara peneliti dan pihak yang diteliti merupakan kunci penting keberhasilan penelitian, karena hanya dengan dengan memelihara hubungan itulah peneliti dapat melihat dunia sekeliling subjek penelitian dengan menggunakan kacamata subjek penelitian. Oleh karena itu dalam pihak laporan penelitian, mekanisme hubungan antara pengamat dan pihak yang diamati termasuk problem yang dihadapi ketika memasuki dunia orang-orang yang diteliti biasanya disinggung oleh peneliti.
Metode penelitian ini tidak mudah, sehingga diperlukan kepekaan, keterampilan dan juga seni. Kemampuan untuk berempati dan gaul dengan orang lain jelas merupakan modal penting. Suatu prosedur yang sering dikenal dalam pengamatan berperan serta adalah “mencuri dengar” [Eavesdropping] : Mencuri dengar bersifat alamiah ; peneliti tidak perlu selalu meminta informasi –informasi diberikan ketika subjek menyadari kehadiran peneliti atau tidak. Bahkan secara kebetulan mendengar akhir percakapan telpon pun dapat menghasilkan temuan penting. Dalam artian ini, mendengarkan suara yang tidak diminta sama fungsinya dengan menyaksikan adegan kegiatan yang sedang berlangsung.
Suatu taktik yang lain adalah apa yang dilakukan “pelacak” [tracer] yakni mengikuti seseorang dalam melakukan serangkaian aktivitas normalnya selama periode waktu tertentu, data yang diperoleh dapat melengkapi data yang diperoleh lewat wawancara mendalam.
Wawancara secara garis besar terbagi menjadi dua yakni wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, dan wawancara terbuka [open ended interview] wawancara etnografis, yang mirip percakapan informal, sehingga merupakan kreasi interaksional kedua belah pihak yakni peneliti dapat berupaya mengambil peran pihak yang diteliti [taking the role of the other] secar intim menyelam ke dalam dunia psikologis dan social mereka. Sehingga seyogjanya menggunakan bahasa yang akrab dan informal. Dengan wawancara ini, dapat memperoleh informasi di bawah permukaan dan menemukan apa yang orang pikirkan dan rasakan mengenai peristiwa tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar